Semua pekerjaan itu, pada dasarnya memuakkan. Mau sesuka apapun lo sama hal yang menjadi pekerjaan lo, akan ada masa di mana lo jenuh. Lo lelah. Dan merasa ragu, apa ini benar-benar hal yang paling ingin lo lakukan? Atau lo hanya kabur dengan apa yang sebenarnya sangat lo suka?
Gue sangat suka mengonsep sesuatu. Sebuah acara. Apa saja. Gue suka membayangkan bagaimana seharusnya sebuah acara berjalan, lampu seperti apa yang sekiranya cocok untuk dipakai, warna karpetnya, tatanan aksesorisnya, pencahayaannya. Segalanya terasa menyenangkan, rasanya seperti memilik studio di dalam kepala gue.
Semakin mendebarkan ketika akhirnya konsep-konsep itu direalisasikan jadi bentuk semestinya. Gue suka saat melihat lampu yang gue bayangkan berpendar di kepala, akhirnya benar-benar bersinar di depan mata gue. Bagaimana harum bunga yang sebelumnya sekedar gue bayangkan, benar-benar bisa gue hirup wanginya. Hangat ruangannya, atau kesederhaan panggungnya.
Rasanya selalu menyenangkan.
Mengerjakan sesuatu yang kita suka, rasanya sungguh luar biasa.
Tapi sekali lagi, bosan tidak pernah tebang pilih. Dia tidak lantas meninggalkan kita hanya karena kita suka hal tersebut, jenuh akan selalu hadir. Mendesak kita hingga kalah. Membuat hal termenarik di dunia jadi sedemikian menyebalkan.
Termasuk hari ini.
Gue merasa kesal akan apapun yang dilaporkan oleh tim. Rapat kami tidak berjalan lancar karena gue tidak fokus, kinerja kami terganggu, dan semua itu hanya karena Binar tiba-tiba kehilangan seluruh mood-nya.
Beruntungnya, bos gue yang sangat gila kerja juga adalah orang yang menyadari betul bahwa pada bidang ini, kreatifitas adalah segalanya. Mungkin merasa gue akan menularkan suasana hati gue yang sedang buruk pada karyawan lain, atau karena gue memang nampak sedemikian menyebalkan sampai gue diusir dari kantor, tapi yang jelas dia meminta gue pulang.
Basa-basinya adalah gue terlihat kurang sehat, jadi sebaiknya gue istirahat atau mencari udara segara. Padahal gue yakin betul, bahwa Bos gue melakukan itu adalah semata-mata agar mood gue segera membaik, dan pekerjaan bisa gue selesaikan dengan baik pula.
Lalu, karena ini masih terlalu pagi untuk pulang, gue memutuskan untuk mampir ke Gramedia. Kebetulan nggak jauh dari kantor. Kalau dipikir-pikir udah lama juga gue nggak baca-baca buku. Tapi gue lantas menyesali keputusan gue itu begitu tanpa sengaja gue berpapasan dengan Julian.
Ergh.
Perbaikan mood macam apa ini.
"Ou, Binar!"
Julian berseru, merekahkan senyum lepas dan menghampiri gue tanpa dosa. Bisa nggak sih, dia pura-pura nggak lihat gue aja?
"Kebetulan banget, baru gue mau ngajak lo ketemuan besok."
Gue mendelik. Belum sempat merespon, lalu kekasihnya tiba-tiba datang entah dari mana.
"Butuh privacy?"
Nadanya mengolok.
Julian lalu merangkul gadis itu. Semakin membuat gue muak, memang harus ya dia melakukan itu?
"Sebentar aja ya, sayang."
Lho.
"Oke, honey. Aku tunggu di tempat tadi ya."
"Thankyou, darling."
Gue memutar kepala gue, jengah.
"Nggak ada yang ingin gue bicarakan."
"Memang tidak pernah ada, tapi itu lo, kalau gue ada."
Dengan segera, Julian mengambil posisi di sebelah gue, memutar tangannya seperti pria bangsawan mengisyaratkan agar gue melangkah lebih dulu. Bukannya merasa lebih baik, ini sih malah semakin memperburuk suasana hati gue.