05

2.3K 388 98
                                    

"Tapi kandidat pengisi acaranya sekarang lagi di Bandung, Mas."

"Ya samperin aja."

Itulah sabda yang akhirnya membawa gue ke sini. Pada semilir kota kembang yang masih begitu sejuk padahal matahari sedang cerah sekali.

Bos gue itu, aduh, gimana ya gue harus mendeskripsikannya.

Mungkin karena terlalu sering ke luar negeri ketemu client, Tangerang - Bandung terdengar seperti cuma kamar - toilet baginya. Padahal perlu 5 jam bagi gue untuk sampai. Entah harus gue sikapi bagaimana, yang jelas gue akhirnya sampai setelah berangkat sejak subuh.

Padahal bisa Meeting Online, tapi gue disuruh datang langsung.

Karena ketemu client juga bagian dari kerjaan gue, semenumpuk apapun tugas di kantor, gue tetep harus berangkat. Nggak mungkin gue nyuruh anak magang handle, sebagian karena kasian, sebagian lagi mungkin hanya alibi gue saja karena yang harus gue temui adalah dia.

Sewada Janardana.

Entah bagaimana dia akan memandang gue nanti, tapi melihat dia sedang menyebrang jalan menghampiri gue dengan senyum merekah membuat gue merasa bahwa buru-buru ke Bandung untuk tanda tangan seorang Arda rasanya tidak terlalu buruk.

Karena percaya deh, mungkin matahari juga sedang minder ditantang dengan senyumnya yang sedemikian terang itu.

"Wah."

Itu kata pertama yang dia ucapkan.

"Gue berhutang banyak nih sama semesta kalau gini caranya."

Gue cuma bisa menjenjang alis, meminta penjelasan atas maksud ucapannya.

"Jadi, gimana?"

Dia menghela napas, menatap gue lurus-lurus sambil menopang dagu. Gue lagi-lagi bingung.

"Gimana, apanya?"

Arda malah tertawa, "Kontraknya?"

"OH!"

Detik itu gue merasa dungu, ya memang apalagi Binarrrrr?

"Btw gue nggak tau lo pianist."

"Bukan kok."

Dia menyergah cepat. Mengangkat tangan memberi kode pada pramuniaga untuk memberinya daftar menu.

"Cuma bisa main piano doang."

Ucapannya membuat gue mendengus cepat.

"Machiato-nya satu ya Mbak. Lo mau ada pesen lagi?"

"Enggak, punya gue masih ada."

"Oke itu aja ya Mbak, makasih."

"Ya sama aja."

Gue melanjutkan ketika mbaknya sudah meninggalkan kami.

"Ya beda dong Binar."

Entah kenapa, setiap kali dia menyebut nama gue, sesuatu seperti meletup-letup. Entah apa. Entah di mana tepatnya.

"Semua orang bisa main piano tapi nggak semua bisa jadi pianist, pianist itu semacam ada di kasta yang berbeda."

Dia mengatakan itu dengan gestur tangan yang menggebu. Sembari mendengarkannya gue mempersiapkan berkas kontrak juga proposal kerja kami. Karena lelah mendebat, akhirnya gue mengiyakan saja. Walau bagi gue, semua pemain piano ya adalah pianist, entah di kasta macam apa mereka berada.

"Jadi perlu gue jelasin lagi tentang proyeknya?"

"Boleh, kalau dengan begitu kita bisa ngobrol lebih lama."

L A K U N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang