Pernah nggak sih, kalian merasa begitu hampa sampai rasanya tidak lagi bisa merasakan apa-apa?
Dalam hidup, gue menyadari bahwa realita sama sekali tidak pernah ada dalam dongeng manapun. Permasalahannya, cerita cintanya, atau akhir bahagianya. Seperti namanya, segalanya hanya dongeng belaka. Atau karena hidup gue yang kepalang begitu-begitu saja?
Tidak ada yang istimewa.
Atau standar istimewa gue sudah kepalang kabur? Saking tidak ada istimewanya hidup ini?
Gue tidak sedang mengeluh, hanya saja, rasanya seakan sesuatu hilang dalam diri gue. Entah apa. Sesuatu yang mungkin bukannya hilang, tapi memang tidak pernah gue miliki.
Keadaan yang mungkin menumpulkan adrenalin gue.
Menekannya sampai titik terendah, sampai rasanya sama sekali tidak mendebarkan ketika tubuh gue dilempar ke atas dan dihempas lagi dengan kecepatan tinggi. Ketika semua orang berteriak, berseru, menunjukkan ketertarikan, gue hanya merasa sedikit.. pusing. Itu saja.
"Anjir gila mau muntah gue rasanya!"
Teman gue berseru, masih dengan antusiasme tinggi sesaat setelah kami turun dari wahana Hysteria. Ya belakangan ini gue lagi merasa hampa-hampanya, jadi ketika Ola minta ditemani main ke Dufan, gue mengiyakan.
"Gue pusing doang sih."
"Gimana? Mau naek wahana apalagi?"
Gue berpikir sejenak, tadinya gue kira naik wahana ekstrim akan membuat perasaan gue lebih baik. Tapi kayaknya yang gue butuhkan bukan sesuatu seperti ini.
"Kita cari tempat duduk dulu kali ya La, lo juga masih mual kan?"
"Iya sih, yaudah duduk situ aja dulu yuk."
Ola menunjuk sebuah kursi panjang tak jauh dari tempat kami sekarang. "Tapi gue mau cari minum dulu ya, lo tunggu situ aja."
"Oke."
Langit sedang bagus sekali hari ini, banyak awan. Tersusun acak dan membuatnya jadi seperti lukisan abstrak yang dipajang di pameran seni yang gue datangi tempo hari. Dan yah, kadang, berdiri di bawah langit sambil memejamkan mata seperti ini juga sudah cukup bagus untuk mengobati diri. Setidaknya―
Bukh!
"Aduh."
Gue begitu saja terhuyung jatuh. Masih kaget, gue merasa blank sampai seseorang mengguncang bahu gue.
"Eh, sorry! Kamu nggak apa-apa?"
Meringis, gue bangun sambil dibantu olehnya.
Dalam waktu singkat, gue merasa dunia seperti melambat.
Tau bagaimana rasanya melihat bintang di tengah hari bolong? Gue rasa, gue baru saja gila. Gue tidak bohong ketika gue mengatakan telinga gue seperti menuli untuk sesaat, seperti seluruh indera gue dipusatkan pada seseorang di hadapan gue. Pada sepasang mata yang entah bagaimana, menghamparkan semesta.
Secara tiba-tiba.
"Binar.. kan?"
Dan ketika nama gue disebut, barulah gue sadar. Mengembalikan lagi momen slow motion gue pada ritme yang seharusnya.
"Ar.. da?"
"Beneran lo kan?!"
Dia berseru.
Kilat mata itu. Seruan riang itu. Gue, tidak akan melupakannya.
Sewada Janardana.
"Ya ampun, ternyata beneran lo."
Lucu ya, setelah hampir dua puluh dua tahun, detak gue akhirnya kembali.