Malam gue hari ini diisi dengan maskeran bersama Ola.
Kadang, kalau lagi pengen, Ola suka nginep di rumah gue. Tidak perlu dalam rangka, karena tidak jarang dia cuma numpang tidur. Nginep juga, kayak gue tetep tidur sendiri. Orang Ola tidurnya kayak bangke.
Tapi hari ini datangnya Ola adalah dalam rangka menghibur gue. Kalau ada orang lain yang tau perihal kebenaran hubungan gue dan Julian selain Jinan dan Tuhan, itu sudah pasti Ola. Cuma kepadanya, gue bisa cerita. Itupun kalau sudah kepalang nggak ketahan.
Bercerita, tidak pernah mudah.
Beruntungnya, Ola tidak pernah keberatan dengan ketidakpandaian gue mengisahkan sesuatu. Dia tidak mempermasalahkan jika selalu dia yang bercerita, tanpa merasa tidak adil. Tanpa merasa gue tidak cukup percaya padanya sampai gue tidak cerita apa-apa. Karena faktanya, gue hanya nggak tau harus mulai darimana.
"Itu kemarin lo ke tempat Ayah nggak jadi ngomong?"
Suara Ola sedikit bindeng, dibuat-buat. Masker yang dia pakai tidak kering jadi sebenarnya dia bisa saja bicara biasa saja. Tapi namanya juga Ola, tentu dia akan memilih jalan yang nggak biasa. Yang harusnya begitu adalah gue, karena sekarang wajah gue rasanya sudah kaku.
"Bingung gue, La."
Kami bersebelahan, menatap langit-langit kamar gue lantas menghela napas bersama.
"Ayah masih belum sehat ya?"
"Yah begitu lah."
Ayah ada riwayat jantung. Juga asma yang membuatnya tidak bisa banyak bergerak, ditambah tekanan darahnya yang selalu rendah, memperburuk kondisinya yang sudah renta.
Gue tidak begitu sering mengunjungi Ayah. Kadang, gue merasa keluarganya tidak begitu menyukai kehadiran gue. Ayah dan Mama bercerai saat gue SMP, sebuah fakta yang tidak begitu gue mengerti dulu. Gue pikir Ayah hanya kerja, tidak sempat pulang. Tapi jadi semakin jarang, sampai gue tau bahwa gue bukan satu-satunya anak Ayah.
Pun Mama yang jadi sering bertemu dengan laki-laki lain, yang bukan Ayah. Dulu, gue bahkan terlalu bingung untuk merasa bagaimana. Sampai keduanya menikah, gue tetap bingung dengan perasaan gue.
Mungkin gue marah. Kecewa. Sedih. Takut. Tapi tidak tau bagaimana gue harus mengungkapkannya. Seiring berjalannya waktu gue hanya belajar untuk melihat dari sisi mereka. Bahwa mungkin, cinta itu juga punya masa. Bahwa seberapa harmonis pun Ayah dan Mama yang gue kenal sejak gue kecil hingga remaja, juga adalah Ayah dan Mama yang sekarang memutuskan untuk menempuh kisah mereka masing-masing.
Tanpa satu sama lain.
Mungkin juga, tanpa gue.
"Mangkanya lo tuh cari pacar."
Ola tau-tau nyeletuk. Bikin gue ketawa geli.
"Pacar dicari-cari. Udah kayak duit jatoh."
Dia malah mendengus, melepas maskernya galak lantas bangun dari posisinya hanya untuk memelototi gue.
"Ya nggak dicari juga minimal lo kasih jalan dodol!"
"Woi lelaki, nih hati gue nih siap menampung cinta kasihmu! Gitu!"
Gue terbahak sejadi-jadinya melihat Ola memukul-mukul dada mengisyaratkan hatinya yang diobral.
"Nggak gitu juga gila!"
Aduh, masker gue retak.
"Lagian, yang di Dufan kemarin emang nggak ada kemajuan?"
Gue mendongak. Menatapnya tajam.
"Hah?"
Dia mendengus lagi, membenarkan posisi duduknya. Ola jadi persis ratu antagonis di drama korea yang sering dia tonton.