Tiring

279 45 1
                                    

609 words


“Untuk mengurangi stres.”

Euna mendengus ketika Jimin menyodorkan es krim cone berwarna hijau di depan wajahnya. “Aku lebih suka cokelat.”

Jimin mendecakkan lidah lantas memaksa tangan kanan Euna menggenggam cone es krim yang diulurkannya.

“Tidak baik pilih-pilih makanan. Selama kau tidak muntah, artinya tubuhmu tidak menolak.” Ia membagi petuah singkat sebelum pantatnya mendarat di samping Euna dengan dramatis.

Sebagai respon, perempuan di sebelahnya itu memasang ekspresi seolah-olah mau muntah. Namun sedetik kemudian dia tersenyun simpul. “Kau tidak membubuhkan racun 'kan?”

“Tidak. Aku hanya mencampuri obat pencahar agar kau punya kegiatan lain selain mengendap seperti kuman di kamar.” Jimin menahan senyum ketika menoleh dan mendapati Euna tengah mengurungkan niat untuk menggigit es krim, melempar tatapan tajam ke arahnya.

“Jorok!”

“Iya, maaf.” Jimin kembali membuang pandang ke depan, kali ini ia berhasil meloloskan senyuman tipis.

Euna mendecih sebal, lalu mulai menyicip es krimnya. “Aku tahu ini tidak gratis.”

“Tidak. Untuk kali ini kuberi gratis.” Jimin mendongak, menatap langit yang terlihat bersih. Tidak ada segumpal awanpun yang membuat pagi ini terasa terik, meski baru jam setengah sebelas.

“Suara ayahku tadi pasti terdengar sampai rumahmu.” Euna melontarkan kalimat retorik ketika berhasil menelan gigitan ketiganya.

“Untungnya sih di rumah hanya ada aku.” Jimin menoleh, mencoba bergurau.

Perempuan itu mengangguk, menggigit es krimnya lagi. “Lama-lama otakku yang jenius ini berpikir kalau aku dan ayahku adalah alasan tunggal kenapa orang tuamu jarang sekali di rumah.”

Jimin baru saja akan membuka mulut ketika Euna lebih dulu memotong sembari mengacungkan telunjuk ke arahnya. Katanya, “Tolong jangan bertanya kenapa aku berpikir begitu.”

Laki-laki berusia 21 tahun itu menurunkan telunjuk Euna hati-hati, seolah-olah perempuan di sampingnya ini anak TK yang tengah merajuk. “Aku tadi mau bilang kalau gagasan otak jeniusmu itu akurat sekali.”

Park Jimin mendesis dua detik setelah berkata demikian. Ia kemudian menambahi dengan nada ketus, “Memangnya orang tuaku sepengangguran itu, apa?”

Sembari menggigiti cone es krim, Euna memutar bola matanya jengah. Ia mengambil tisu dari saku jaketnya ketika kembali berkomentar, “Karena kalau kita bertukar posisi, aku sudah pindah rumah dari dulu. Kupingku pasti akan terasa panas mendengar tetangga sebelah rumah terus marah-marah dan mengumpat setiap hari.”

“Untungnya telingaku kusumpal dengan headphone nyaris setiap saat dirumah.” Kekehan ringan dari mulut Jimin menyulut Euna untuk melempar bungkus tisu ke wajah laki-laki itu.

“Berniat sekali untuk tuli rupanya.”

Jimin mengambil bungkus tisu yang terjatuh di pangkuannya. Melihat bungkusnya masih tersegel, laki-laki bermarga Park itu segera membukanya, mengeluarkan satu lembar untuk kemudian di berikan pada perempuan di sebelahnya. “Setidaknya 'kan telinga yang kusiksa itu telingaku sendiri.”

Euna mendesis, lantas mengambil tisu dari tangan Jimin untuk membersihkan tangannya dari lumeran es krim yang sudah berpindah tempat ke perutnya. Setelah meletakkan tisu kotor itu di sisi tempat duduknya, perempuan itu mengambil kotak seukuran tempat pensil dari tas yang sedari tadi teronggok manis di kaki kursi.

“Sekarang giliranmu.”

Jimin sedikit berjenggit ketika Euna menyibak poninya. Sejurus kemudian, ia meringis ketika perempuan itu melepas perban kecil di atas pelipisnya. “Aku sudah menggantinya tadi malam.”

“Kau seharusnya menggantinya tadi pagi, sebelum berangkat kuliah.” Euna dengan telaten mengobati luka yang berhasil merusak estetika wajah seorang Park Jimin.

“Tidak sempat. Aku nyaris terlambat tadi pagi.”

Selanjutnya, suasana begitu lenggang. Mereka merasa tidak perlu saling melempar kalimat bernada ketus seperti; Kau itu bodoh ya? Kenapa tidak membalas ketika berandalan itu berlomba-lomba meninjumu? Atau; Dasar idiot, seharusnya kau tidak diam saja saat ayahmu mencaci makimu atas tindakan yang tidak pernah kau lakukan!

Untuk apa kalimat macam itu?

Toh, pada dasarnya mereka ini sama. Sama-sama terluka -meski yang satunya fisik dan satunya lagi psikis. Sama-sama berusaha saling menyembuhkan. Sama-sama tahu bahwa; Terkadang, membela diri sendiri juga terasa begitu melelahkan.

Midnight ThoughtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang