Future Frame

112 10 9
                                    

791 words

"Hyung, menurutmu apa artinya memiliki anak?"

Pertanyaan bernada lugu tersebut membuat laki-laki berhidung mancung yang tengah merapikan buku-buku tebal di rak menoleh sekilas. Tak mau menganggapnya serius, ia menjawab santai, "Akan ada nyawa tambahan yang harus kuurus. Selebihnya, akan kuberitahu kalau aku sudah punya setidaknya satu."

"Semoga saja bukan karena kau ingin sesuatu yang bisa kau pamerkan."

Meski terdengar tanpa minat, tapi kalimat barusan membuat Kim Seokjin—lelaki jangkung yang tengah mencurahkan sebagian besar atensinya untuk buku-buku tersebut—menoleh dengan kening berkerut tak suka.

"Seseorang, Taehyung. Dan manusia tidak seharusnya dipamerkan." Alis tebalnya nyaris bertaut ketika ia memutar kepala, menjuruskan pandangannya lurus pada sosok lelaki yang berusia lebih muda darinya tersebut. "Kau ini, tidak sedang menyamakan aku dengan hewan langka yang fosilnya di pajang di museum, 'kan?"

Lelaki yang duduk bersila di meja baca itu menarik senyuman lebar yang terkesan dibuat-buat. "Kenapa memangnya? Lagipula, memang sudah tua juga, 'kan?"

"Demi kelangsungan hidup kita berdua, aku akan pura-pura tidak dengar." Seokjin kembali memusatkan separuh perhatiannya pada buku yang akan ia tata, berusaha mengabaikan kekehan pelan yang samar-samar menembus gendang telinganya. Tak lama, sebab sepersekian menit kemudian lelaki tersebut menoleh cepat pada sosok yang masih belum beranjak dari meja baca. "Hei, Kim Taehyung!"

Iris legam yang semula meneliti arsitektur perpustakaan tersebut beralih cepat pada Seokjin. "Hm?"

"Jujur saja padaku. Sudah seberapa jauh hubunganmu dengan Kyuri?"

Sepasang mata Seokjin menyipit penuh antisipasi dan itu membuat Taehyung mengerutkan keningnya tak paham.

"Apa? Kenapa tiba-tiba ber— Ah, Hyung!" Alis tebal Kim Taehyung menaik, seolah tak percaya dengan apa yang dipikirkannya. "Jangan berpikir yang aneh-aneh! Aku dan Kyuri tahu batasan. Pertanyaanku tadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Kyuri."

Bahu Seokjin merosot lega.

"Kau tiba-tiba bertanya soal anak, membuatku cemas saja." Lelaki tersebut kembali memilih dua buah buku tebal dari keranjang untuk kemudian ia letakkan di rak, tepat pada barisan buku di hadapannya. Bibir tebalnya menggerutu, "Aku ini masih terlalu muda untuk punya keponakan dan dipanggil paman, tahu."

Taehyung menaikkan alisnya sangsi. Masih muda apanya?

"Aku hanya ingin bertanya, kok." Kalimat bernada santai tersebut lah yang akhirnya terlontar sebagai balasan. Meski memang menggoda kakak tingkatnya tersebut perihal usia sangatlah menyenangkan baginya, tetapi rasanya ia datang kemari bukan untuk itu.

"Akhir-akhir ini aku selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya memiliki seseorang yang bisa kau rawat, kau besarkan dengan segala upaya terbaik, seseorang yang akhirnya menjadi prioritas utamaku, sampai waktu yang tidak bisa kutentukan. Aku selalu bertanya-tanya, akan menjadi ayah seperti apa aku nanti? Akan kubesarkan dengan cara seperti apa anak-anakku nanti?"

Biasanya, Park Jimin—teman sepersintingan Taehyung yang ia kenal sama baiknya—menjadi satu-satunya orang yang menyemburkan tipikal pertanyaan semacam ini. Kau tahu, tipikal pertanyaan yang membuat kepalamu menyusun gambaran sederhana mengenai masa depan, tetapi benar-benar terlihat gamang. Sebab jika kau menggambar sedikit saja lebih rinci, kau takut jika masa depanmu yang sesungguhnya tak akan tergambar seperti itu.

Jadi mendengar pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Kim Taehyung yang biasanya mengadu mengenai berapa banyak makanan kedaluwarsa yang ia buang dari kulkas asrama, Seokjin hanya membalas ringan. "Menurut analisaku, sih, kau akan menjadi ayah yang cukup waras untuk anak-anakmu nanti, Tae."

Taehyung mendengus pelan. Ia meletakkan sepasang tangan di kedua sisi tubuhnya, menopang bobotnya sementara iris legamnya mengekori setiap pergerakan Seokjin. "Tapi bayangan menjadi orang tua seringkali membuatku takut, hyung."

Seokjin mengangguk pelan. Tentu saja.

"Setelah memberikan segala upaya terbaik untuknya, aku takut jika nanti aku lupa memberinya ruang untuk hidup sesuai ekspektasinya sendiri dan justru menyumpalkan seluruh ekspektasiku padanya."

Ah, ini?

Menempatkan buku terakhirnya di rak, Seokjin lantas mengarahkan tungkainya menuju sudut ruangan untuk meletakkan keranjang dorong. Taehyung mendengar lelaki tersebut berkata cukup lantang, "Kau tidak akan seperti itu, Taehyung."

"Tahu dari mana?" Si Kim yang usianya lebih muda tersebut melongok, berusaha menangkap presensi Seokjin yang terhalang rak buku.

Seokjin tak langsung menjawab. Keningnya berkerut samar. Dari mana? Dari bagaimana Taehyung selalu menyempatkan diri untuk menelpon adiknya dan menanyakan bagaimana harinya berlangsung setiap menjelang waktu tidur? Dari bagaimana lelaki itu selalu menanyakan apa yang Jimin dan Seokjin perlukan tiap kali ia mampir ke minimarket? Dari bagaimana si Kim tersebut menjadi orang pertama yang bertanya ada apa ketika salah satu orang di dekatnya menunjukkan gelagat yang tak biasa? Ya, tentu saja dari semua hal yang diam-diam Seokjin amati sejak keduanya saling mengenal. Well, singkatnya, Seokjin tahu jika Kim Taehyung bukan tipikal orang sekaku itu, terlebih jika sudah berkaitan dengan seseorang yang ia sayangi.

Tetapi ketika mengayunkan tungkainya menghampiri Taehyung dan ia menangkap sekelebat ekspresi resah di wajah lelaki yang kerap dijuluki anime hidup tersebut, Kim Seokjin mengerti jika bukan kalimat seeksplisit itu yang ingin Taehyung dengar. Jadi setelah menghela napas tak kentara, Seokjin berkata penuh afeksi.

"Sebab kau bukan dia. Dan tidak akan seperti dia."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Midnight ThoughtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang