1104 words
Jam kayu yang teronggok di kaki meja itu sudah menunjukkan pukul 9 malam lebih 49 menit. Itu berarti sudah sekitar 4 jam Eunji duduk bersila di lantai menghadap pintu balkon yang terbuka, mengabaikan sisa gerimis dan embusan angin malam yang dengan kurang ajar menerobos pori-pori kulitnya yang memucat.
Penerangan minim dari lampu apartemen seberang menunjukkan siluet bahunya yang naik turun secara teratur, menandakan ia masih bernapas dengan normal. Bibirnya terkatup rapat seolah sudah direkatkan dengan seember lem kualitas terbaik. Pandangan matanya lurus menatap pagar balkon yang basah. Sesuatu yang luar biasa berat sedang menggelayuti otak berkapasitas minim milik perempuan bertubuh kurus itu.
“Di luar dingin sekali,” Pintu apartemen sempit itu berderit, disusul sosok laki-laki kurus yang menyembul dari sana dengan dua kantung plastik besar. Samar-samar, laki-laki itu mengguman sebal, “Astaga, kenapa gelap sekali? Apa dia sedang keluar? Dengan pintu tidak dikunci begitu?”
Tanpa menunggu komando, Min Yoongi, laki-laki itu meraba saklar dan menekannya demi mendapat penerangan setelah menendang sepatu di depan pintu. “Tidak biasanya dia menaruh sepatu sembarangan.”
Tepat setelah menginjakkan kaki di ruang tamu, Yoongi meletakkan plastiknya di meja dan berlari menghampiri sosok yang hampir saja ia kira hantu. Tangannya bergerak menutup pintu dengan rapat, menyisakan perempuan yang akhirnya mendongak dengan pandangan datar.
Yoongi segera menyalakan penghangat ruangan dan berlutut di hadapan perempuan kurus itu. Ia berjenggit kaget ketika kulit tangannya bersentuhan dengan kulit wajah perempuan di hadapannya. “Berapa lama kau duduk di sini, idiot?”
Alih-alih menjawab, Eunji hanya memejamkan mata sebentar ketika merasakan tangan hangat itu menyentuh pipinya yang terasa hampir beku.
“Penampilanmu mirip gelandangan, tahu.” Yoongi menyentuh rambut sebahu milik perempuan yang berhasil membuatnya khawatir ini. Laki-laki bersurai abu-abu itu berani bertaruh jika tadinya rambut yang dipegangnya ini basah kuyup. Pandangannya menurun pada sweater rajut turtle neck berwarna kuning cerah yang bernasib sama. Selanjutnya, Yoongi tidak merasa perlu mengecek satu-persatu untuk memastikan jika semua yang melekat pada perempuan ini tidak benar-benar kering.
Embusan napas pelan berhasil lolos dari mulut Yoongi. “Bisa berdiri tidak?”
Mendengar pertanyaan ketus itu, si lawan bicara menggeleng pelan. Kakinya terasa kebas karena tidak digerakkan selama 4 jam dalam dingin. Terlebih, ia juga tidak ingin kemana-mana. Dan seolah mendengar suara di kepala Eunji, Yoongi lagi-lagi menambahkan ketus, “Berniat untuk menghabiskan sisa hidupmu disini, ya?”
Eunji tidak menyangka dia bisa terkekeh sinis ketika Yoongi akhirnya mengalah dan mengangkatnya sembari mengomel, “Berat badanmu berkurang lagi. Serius, kau perlu berhenti untuk bersikap seperti manusia paling sengasara di penjuru galaksi begini.”
“Aku tidak memintamu untuk datang.”
Tepat setelah mendengar kalimat itu sesampainya di tempat tidur Eunji, Yoongi melempar tubuh kurus perempuan itu di kasur. “Lalu kau mau aku bagaimana? Membiarkanmu membusuk di apartemen ini? Kau mau aku digiring ke kantor polisi sebagai saksi penemuan mayat perempuan kurus di apartemen, begitu?”
Sebagai catatan saja, Eunji tidak menyangka jika Min Yoongi bisa berbicara sepanjang itu tanpa dipaksa. Oh, atau mungkin memang lelaki itu merasa dipaksa, oleh kelakuan Eunji.
“Kau ini menganggapku manusia, tidak, sih?” Yoongi mengatakan itu sembari membuka laci untuk kemudian mengambil pengering rambut.
Sepasang iris Eunji hanya mengekori laki-laki yang kini sudah berada di depannya dengan pengering rambut yang sudah menyala.
“Kalau aku mati semuanya akan lebih mudah, tidak?”
Meski suara pengering rambut itu nyaris menenggelamkan suara Eunji, nyatanya kalimat barusan berhasil membuat Yoongi berkata sedikit lebih keras dengan nada ketus, “Kau pikir aku penjaga alam kematian, apa?”
Itu saja percakapan mereka. Beberapa waktu setelahnya, hanya terdengar suara pengering rambut dan gerimis yang mulai deras lagi. Setelah memastikan rambut sebahu itu benar-benar kering, Yoongi mematikan benda berwarna putih di tangannya dan meletakkan di tempatnya semula. Langkahnya lalu tertuju pada lemari pakaian Eunji, mengambil baju hangat dan meletakkannya di kasur. “Kau benar-benar akan mati kedingingan kalau tidak ganti pakaian.”
Eunji masih diam di tempat, memandang laki-laki yang kemudian meninggalkannya di dalam kamar dengan pintu tertutup. Tidak lama, karena setelah memaksa kaki kramnya untuk berdiri sembari mengganti pakaian, perempuan itu menyusul Yoongi 5 menit kemudian.
“Kau sedang apa?”
Pertanyaan itu membuat Yoongi mengalihkan atensi dari kepulan asap dari mug berwarna biru di konter dapur. Sebelah alisnya menaik. “Kau pura-pura ya saat mengatakan tidak bisa berjalan?”
“Iya.” Eunji menjawab singkat sembari menjatuhkan pantatnya di sofa yang menghadap langsung ke meja TV, membelakangi dapur. “Tolong jangan katakan kau buat makanan karena aku masih kenyang.”
“Kenyang minum air hujan?” Yoongi mendudukkan diri di samping Eunji, lantas menyodorkan mug dengan asap masih mengepul. “Cuma susu, kok. Tidak akan langsung membuatmu jadi obesitas.”
“Tapi serius, aku masih kenyang. Aku baru selesai makan bersama Namjoon dan Hoseok saat mendapat telepon dari kantor polisi.” Meski berkata demikian, Eunji tetap menerima susu hangat dari Yoongi. Sepasang telapak tangan dinginnya mendadak ikut hangat setelah menyentuh mug biru itu.
Yoongi mengambil remote TV di meja, menyalakan benda persegi itu sembari bertanya, “Ada perkembangan?”
Eunji mengangguk, menyesap susu hangatnya sedikit lalu meletakkan mug itu dimeja. “Mereka sudah menemukan tersangka pembunuhan ibu.”
“Kau mengenalnya?” Yoongi memberikan atensi penuh untuk perempuan yang kini menatap lurus ke arah TV tanpa titik fokus.
“Kuharap sih tidak.”
Kening Yoongi berkerut.
“Tapi sialnya memang kenal. Dia bahkan menyematkan marganya di namaku.”
Sepasang alis Yoongi menaik, terkejut bukan main.
“Tapi, bukankah Paman yang menelpon polisi pagi itu?” Laki-laki itu sudah sepenuhnya duduk menghadap Eunji, dengan sebelah kaki ia lipat di sofa. Pantas saja ia menemukan perempuan ini begitu kacau beberapa menit lalu. Untung saja, belum jadi mayat.
“Dia bermain peran dengan sangat baik, 'kan?” Eunji tersenyum miris, menatap layar televisi yang menayangkan music show tanpa minat.
Berbagai bentuk pertanyaan 'mengapa' sudah bertengger dengan manis di otak jenius Min Yoongi tanpa diminta. Tapi meskipun begitu, laki-laki ini memilih untuk menyimpannya sendiri, terlebih ketika Eunji tiba-tiba saja memandangnya.
“Kau tidak mau pergi?” tanyanya.
“Kau mengusirku?”
“Aku baru saja mengatakan. Ayahku menjadi tersangka pembunuhan ibuku. Kau tidak khawatir memangnya, kalau aku menyembunyikan pisau dapur di balik bajuku untuk kemudian menikammu?”
Mendengar kalimat bernada santai namun terdengar frustrasi itu membuat Yoongi membuang napas pendek. “Aku lebih khawatir kau akan menikam dirimu sendiri.”
Yoongi lantas menarik lengan Eunji, memaksa perempuan itu mendekat untuk kemudian memeluknya. Laki-laki itu tidak mengatakan apapun setelahnya, karena Eunji lebih dulu bersuara, “Polisi mengatakan ini bukan pertama kalinya dia melakukan pembunuhan dengan sengaja. Kau tahu apa artinya, 'kan?”
Darah seorang pembunuh mengalir dalam tubuhnya.
Yoongi mengusap bahu Eunji dengan lembut. “Kau membutuhkanku.”
“Yoon,” suara serak itu menunjukkan bahwa perempuan ini berusaha setengah mati untuk tidak menangis.
“Tidak apa-apa untuk merasa takut. Menangis saja, itu manusiawi.” Yoongi berbisik pelan sebelum kemudian mengeratkan rengkuhannya. Terlebih ketika bahu perempuan itu bergetar, Yoongi hanya bisa mengecup kening Eunji sembari membisikkan kalimat sederhana, “Aku tidak akan kemana-mana.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Thoughts
Fanfiction"I'm still kind of a mess. But I think we all are. No one's got it all together. I don't think you ever do get it totally together. Probably if you did manage to do it you'd spontaneously combust." - Michael Thomas Ford, Suicide Notes 151218 -