1304 words
“Kalau kau mau pergi tidak apa-apa, kok. Aku mengerti.”Perempuan bersurai pirang itu memaksa sepasang iris kelabunya memandang lelaki jangkung berlesung pipit di seberangnya. Satu sudut bibirnya terangkat, membentuk seulas senyum tipis yang terlihat jelas begitu dipaksakan. “Sudah? Begini saja? Kukira kau akan memintaku untuk tinggal.”
“Seharusnya memang tidak begini, ‘kan? Maksudku, sejak awal situasinya sudah salah. Dan selagi kau punya kesempatan untuk pergi, kenapa aku harus memaksamu berpikir dua kali?”
Lelaki yang semula menekuri kertas partitur itu kini mendongak, memandang si lawan bicara yang tengah berdiri tepat dimata. Sementara yang ditatap hanya menaikkan sepasang alisnya cepat lantas membuang pandangan ke sembarang arah—setuju, meski agak kecewa.
Agak klise dan menggelikan, tapi serius, meski Shannon memiliki alasan dan kesempatan untuk pergi, ia tetap akan tinggal jika Namjoon memintanya. Tapi alih-alih begitu, lelaki yang kembali menekuri kertas partitur itu kembali menambahkan, “Aku hanya berpikir realistis, San.”
“Iya, itu konsep yang pasti akan kau junjung tinggi sampai mati.” Shannon tidak berencana untuk mengucapkan kalimat itu dengan begitu ketus, tetapi suasana hatinya yang terus memburuk dan tekanan atas perasaannya sendiri agaknya membuat kalimat barusan justru terdengar sebaliknya—kelewat sinis, malah.
Kim Namjoon membuang napas pelan. Berusaha terlihat abai, meski sesuatu di rongga dadanya sana berdenyut nyeri. Ia ingin sekali memutar sepasang bola matanya jengkel, mengucap kalimat berani—semacam; persetan lah dengan realistis. Aku mau kau tetap disini, San. Kumohon, tetap tinggal—lalu merengkuh sang kekasih—atau partner hubungan tanpa ikatan, barangkali. Entah, belum diputuskan—yang kini sibuk menggigit bibir bawahnya.
Tapi mana bisa begitu?
Mereka sudah cukup egois dengan membiarkan hubungan mereka berlangsung selama nyaris setahun. Mengabaikan fakta jika Shannon sudah bertunangan, akan segera menikah dengan laki-laki mapan yang barangkali mencintai perempuan itu lebih dari yang Namjoon lakukan. Laki-laki yang tidak lain adalah kakaknya sendiri, Kim Seokjin.
Menyapukan lidah pada bibir bawahnya sekali, Namjoon lantas menyerah. Ia meletakkan kertas partitur dan melepas kaca mata berbingkai bulat yang bertengger di pangkal hidungnya, lantas beranjak. Meski tahu hal yang terjadi berikutnya pasti tak akan mudah untuk dirinya sendiri, toh, Namjoon tetap menyeret tungkainya mendekat pada satu-satunya perempuan di ruangan tersebut.
“Kita bicara sebentar.” ucapnya ketika mereka hanya berjarak sekitar dua meter. “Tapi sebelum itu, biarkan aku memastikan kalau pintu depan sudah dikunci. Bisa repot urusannya kalau tiba-tiba ada yang datang ketika kau sibuk menyemburkan sumpah serapah untukku.”
Shannon tidak menyahut sama sekali. Meski ia sendiri cukup yakin sudah menutup pintu dengan benar, tetapi Namjoon benar. Bukan hal menyenangkan jika mereka kedatangan tamu disaat mereka sendiri tidak yakin apa yang akan terjadi nanti. Terlebih jika Seokjin yang datang, itu akan buruk sekali. Iya, kalau mereka hanya saling melempar sumpah serapah, bagaimana jika lebih dari itu?
“Kemari, San. Bicaranya sambil duduk saja.”
Yang dipanggil menoleh, demi mendapati lelaki berlesung pipit itu sudah mendudukkan dirinya di sofa ruang santai, lengkap dengan sepasang iris legam yang menatapnya teduh. Diam-diam perempuan itu mengaduh. Seharusnya ia benar-benar pergi setelah lelaki itu mempersilakannya.
Tapi tetap saja, sepasang kaki berbalut pump shoes itu melangkah tanpa keraguan sedikitpun menuju si pemilik rumah—bahkan menjatuhkan pantatnya tepat disisi Namjoon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Thoughts
Fanfic"I'm still kind of a mess. But I think we all are. No one's got it all together. I don't think you ever do get it totally together. Probably if you did manage to do it you'd spontaneously combust." - Michael Thomas Ford, Suicide Notes 151218 -