Mind-reader

163 17 4
                                    

1042 words

Akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk tidur seharian, bermalas-malasan di atas kasur sembari menonton film, bermain game, atau melakukan apapun yang tidak berhubungan dengan rutinitas sekolah, kuliah maupun pekerjaan yang membosankan. Akhir pekan adalah waktu yang sempurna untuk memanjakan diri sendiri.

Well, setidaknya itu yang Euna pikirkan sampai satu jam lalu. Sebelum sang Ibu menginvasi kamarnya, menepuk bahunya dengan anarki agar ia segera membersihkan diri karena Jimin sudah duduk manis menunggunya di ruang tamu. Gadis berusia 19 tahun tersebut bahkan sempat mendengar Ibunya mengomel—menyebutnya tak bertanggungjawab karena membuat Park Jimin yang manis itu menunggu, padahal Euna lah yang mengajak lelaki itu ke toko buku.

Kau boleh percaya, boleh juga tidak—tetapi Euna menyarankan untuk percaya saja—Si Anak Itik itu lihai sekali memanipulasi situasi, membuat seluruh populasi manusia di bumi berpihak padanya. Dan Seo Euna selalu menjadi pihak yang dibuat kesal. Pagi ini hanya salah satu contohnya.

"Mau apa, sih, ke toko buku di akhir pekan begini, Jim?" Euna menyeret tungkainya malas mengekori lelaki bersurai legam yang sedari tadi tak berhenti mengoceh perihal bagusnya cuaca hari ini untuk melakukan ini dan itu.

"Aku berniat membeli sepasang kelinci," Bibir plum lelaki itu bergerak lucu. "tetapi sepertinya di toko buku tidak dijual. Jadi, apa aku beli buku saja, ya?"

Euna mendengus sebal dan iris gelapnya memutar jengah. "Beli otak saja bagaimana, Jim? Sepertinya otakmu tak berhasil diselamatkan dari serangan pasukan zombie."

"Siapa bilang?" Jimin berhenti melangkah sebentar, demi menyejajarkan langkahnya dengan sahabat baiknya tersebut. Alisnya menaik ketika berujar serius, "Otakku baik-baik saja, kok. Masih bisa mengingat semua aibmu dan kenangan kita dengan sangat baik."

"Dasar sinting." Seo Euna kehabisan kata-kata. Ia merasa separuh kesadarannya masih menempel di kasurnya, enggan mengikutinya berurusan dengan Si Park.

"Lho, benar, kok. Kalau diteliti dengan benar, barangkali lebih dari separuh ingatanku ini isinya aibmu semua." Jimin tergelak pelan. "Aku kadang tidak bisa menghindari pemikiran konyol untuk membagi satu-dua aibmu dengan Taehyung, atau Seokjin hyung."

"Jangan pernah berani untuk berpikir demikian." ketus Euna tepat sebelum keduanya menyeberang jalan. Ketika mereka sudah kembali berjalan di trotoar, Si Seo kembali membuka percakapan. "Tapi, Jim, bicara soal pikiran, kau pernah tidak berkeinginan untuk memiliki kemampuan membaca pikiran orang lain?"

"Tidak." Jimin membalas dengan satu tarikan napas yang terdengar yakin.

Euna menoleh ke arah lawan bicaranya sekilas. "Kenapa? Kau bisa mengetahui isi pikiran orang yang sebenar-benarnya. Mengetahui apakah orang itu jujur padamu atau tidak."

"Itulah mengapa aku tidak mau." Jimim mengusak surainya ke belakang. Suaranya terdengar begitu santai ketika menjelaskan, "Pikiran seseorang adalah tempat paling pribadi, Eun. Disanalah seseorang berbicara pada dirinya sendiri tanpa tendeng aling-aling. Bisa kau bayangkan, bukan, betapa frontalnya setiap kata yang terlontar dari sana?"

Jimin memasukkan sebelah tangannya ke saku jaket yang ia kenakan sementara tangannya yang lain sibuk bergerak kesana-kemari ketika ia mengambil tiga langkah di depan Euna, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan mundur sembari berkata lagi.

"Coba bayangkan jika kau tak sengaja mendengar rencana pembunuhan sadis yang tersusun rapi dan rinci di pikiran psikopat atau pemikiran tindak kriminal serupa." Si Park berkata dengan menggebu, tetapi buru-buru menjeda dan berdeham pelan ketika lawan bicaranya menampilkan wajah luar biasa jijik bercampur ngeri. "Ah, kalau itu terlalu berat, coba bayangkan saja kau bisa membaca isi kepala para teman palsu di sekitarmu.

"Misalnya saja begini. Kau berhadapan dengan seorang teman. Tapi ternyata ketika melihatmu, di dalam benaknya sana dia sibuk bermonolog. Soal bentuk badanmu yang kurang bagus, suaramu jelek, pakaianmu terlihat norak, kakimu pendek dan persoalan sejenisnya. Dia terus bersuara mengenai apa yang selama ini berusaha kau tutupi dengan peringai tak acuhmu. Bukankah itu tak terdengar menyenangkan sama sekali?"

"Tapi kau 'kan tampan. Mana ada yang berpikir begitu." Euna membalas sekena dan seadanya, sembari berjalan lambat—menyesuaikan langkah mundur Jimin di depannya.

"Justru karena aku ini tampan, aku malah semakin takut." Setelah mengatakan itu, Jimin memasukkan satu tangannya yang bebas ke saku jaket juga. Ia kembali membalik badannya untuk kemudian berjalan dengan normal, beriringan dengan Euna. Lelaki bermata sipit tersebut terlihat mengerutkan keningnya lalu berujar serius.

"Bagaimana jika pikiran mereka meliar kemana-mana saat melihat tubuhku? Bagaimana jika ketika aku sedang ingin berbicara, tetapi seseorang tiba-tiba berteriak di kepalanya dengan sinting; Ya Tuhan bibir Park Jimin itu seksi sekali. Ingin kucium seharian rasanya. Atau begini; Aku harus menculik Park Jimin, menyimpannya di dalam lemari agar bisa kunikmati seorang diri. Kami pasti akan melalui malam panas yang luar biasa. Itu bahkan belum mencapai level kalimat terfrontal yang bisa kubayangkan. Kalau sudah begitu, aku bisa-bisa ketakutan seumur hidup dan berakhir sinting."

Si Seo hampir menganga mendengar rentetan kalimat yang baru saja meluncur bebas dari bibir penuh si Park. Kening yang tertutup poni tebal itu mengerut tak percaya. "Wah. Kau tidak merasa kurang ajar, ya, bicara seperti itu pada seorang gadis perawan?"

"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Dibandingkan perasaan, kukira otaklah yang paling menakutkan." Jimin berujar santai dengan sepasang bahu terangkat tak peduli. Ia menoleh sekilas sembari tersenyum ringan. "Taruhan, kau pasti juga pernah menilai fisikku di dalam kepalamu sana."

Sepasang alis Euna memincing. "Karena kau juga pernah menilai fisikku di kepalamu?"

"Tentu saja. Fisik selalu menjadi hal pertama yang dinilai saat mata memandang. Tidak munafik."

Oke. Ingatkan aku untuk tidak pernah membahas soal pembaca pikiran pada siapapun lagi.

"Semua rahasiaku ada di dalam sini, Eun." Jimin berujar lagi. Meski tak melihatnya secara langsung, melalui sudut matanya, perempuan yang diajak bicara tersebut dapat melihat lelaki di sebelahnya menunduk. Ia juga merasa jika bibir si Park mengulas senyuman tipis ketika menambahkan dengan nada yang sama, "Jika orang-orang bisa membaca pikiranku, lalu harus kusembunyikan dimana lagi mereka semua agar tak terbaca?"

Euna mengangguk khidmad. "Aku mengerti. Tapi tadi aku bertanya mengenai kau yang bisa membaca pikiran orang lain, bukan orang lain yang bisa membaca pikiranmu."

"Bagiku itu sama saja. Sama-sama soal privasi." Jimin mengangkat pundaknya tak peduli. "Kau sendiri, memangnya mau mendengar kalimat tak tersaring dari pikiran orang-orang? Atau, memangnya kau tidak keberatan jika pikiranmu diinvasi orang lain?"

"Well.. aku juga tidak terlalu menyukai pembaca pikiran, sih." Perempuan bersurai panjang yang hari ini tergerai bebas tersebut memandang ke jalanan di depannya tanpa minat. Satu embusan napas pelan lolos begitu saja dari bibirnya sebelum akhirnya berucap, "Tapi, ada kalanya aku ingin seseorang membaca isi kepalaku, lalu memberitahuku apa yang harus kulakukan."

Midnight ThoughtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang