Things I Have To Deal With

168 18 0
                                    

1420 words

"Akui sajalah kalau sebenarnya kau ini takut jatuh cinta."

Dari tumpukan kardus di hadapannya, atensi Song Hwayoung kini beralih penuh pada lelaki bersurai legam yang katanya jenius di belakangnya. "Bicara begitu sekali lagi maka aku tidak akan segan-segan menendang pantatmu."

"Sebelum kakimu menyetuh pantatku, kupastikan pot bunga cantik ini sudah lebih dulu mendarat dengan anggun di kepalamu." Si lelaki mengacungkan pot keramik bermotif abstrak di tangannya dengan senyuman lebar-yang Hwayoung akui terlihat mirip seperti senyuman badut di film IT.

"Maumu itu sebenarnya apa, sih?" Setengah mendesis sebal, perempuan berpotongan rambut pendek di atas bahu itu melenggang begitu saja ke dalam rumah sembari memeluk dua kardus berukuran sedang di tangan. Sedang lelaki yang menjadi satu-satunya lawan bicara perempuan tersebut mendengus pelan saat meletakkan pot di tangannya ke tempat asal-di atas meja teras. Ia lantas mengambil satu kardus besar yang tersisa di lantai teras untuk kemudian dibawanya ke dalam rumah.

Satu hela napas berat lolos dari indra penciuman si lelaki ketika ia berhasil meletakkan kardus itu di ruang keluarga, tepat dimana perempuan yang ingin menendang pantatnya tadi disibukkan dengan koleksi miniatur gedung bersejarah di dunia yang baru saja dipindahkan dari kardus ke rak kayu bercat putih.

"Kejelasan perasaanmu pada Hoseok."

Hwayoung menoleh begitu saja ke sumber suara ketika kalimat tiba-tiba itu menembus gendang telinganya. Keningnya berkerut. "Apa?"

"Kau tadi bertanya apa yang kumau, 'kan?" Lelaki bersurai hitam itu menjatuhkan bobotnya dengan dramatis di sofa tanpa melirik si pemilik rumah.

Kalau saja miniatur Menara Pisa di genggamannya ini hanya seharga seribu won, Hwayoung pasti sudah melempar benda setinggi telapak tangannya itu mengenai kepala si lawan bicara. Sebenarnya berbicara dengan lelaki ini sama seperti berbicara pada cermin. Satu kalimat sarkas keluar dari mulutnya, maka kalimat serupa akan tertuju lurus padanya. Tapi tetap saja, perempuan bersurai rosegold yang masih berdiri tersebut berkata ketus sekali, "Pulang saja, sana."

"Tidak perlu mengusirku. Aku akan pergi jika aku ingin." Lelaki berbalut sweater rajut turtleneck sewarna surainya tersebut membalas tak acuh sembari menaikkan kakinya ke atas meja.

Jelas saja gestur menyebalkan itu memancing sebelah telapak tangan Hwayoung untuk bertengger di pinggangnya, sementara yang lain masih menggenggam miniatur Menara Pisa. "Ini rumahku. Aku berhak mengusir siapapun semauku."

"Tapi ini kakiku. Aku berhak memutuskan kapan aku mau berjalan sesukaku." Lelaki tersebut mengangkat kakinya yang berbalut celana jeans robek-robek ke arah lawan bicara, lengkap dengan mata sabitnya yang berusaha keras untuk melotot.

Itu tidak lucu, kalau kau mau tahu.

"Min Yoongi Sialan."

Mendengar umpatan pelan si perempuan membuat si lelaki berkulit putih pucat itu mengerutkan keningnya tak percaya. "Mengutip kalimat Nickholas J Furry; Kau mencium orang tuamu dengan mulut yang suka mengumpat itu?"

"Iya. Aku mencium semua orang dengan mulut yang suka mengumpat ini." Hwayoung menyembur galak. Sedangkan Yoongi membenahi ekspresinya menjadi seperti sediakala.

"Euh, apa Hoseok juga pernah mengecap bibir yang selalu mengumpat itu?"

Si Song segera berbalik, hanya untuk memastikan jika sandal rumah yang dilemparnya sekuat tenaga tepat mengenai sasaran. Setelah melayangkan tatapan tajam yang super kilat, Hwayoung lantas memutuskan untuk menata miniatur gedungnya dengan tenang, seolah ia satu-satunya manusia di ruangan bercat peach itu. Yoongi juga memutuskan untuk tidak berujar lagi setelah sudut bibirnya dicium sandal rumah. Barangkali ada sekitar 7-8 menit suasana menjadi lenggang, hingga akhirnya satu kalimat berhasil menyentak gendang telinga Hwayoung.

Midnight ThoughtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang