Simple Thing Called Yearning

180 21 4
                                    

892 words

"Tok-tok."

Di bingkai pintu kamar bernuansa hijau cerah itu, Haesoo bersandar dengan kedua tangan terlipat di dada. Sepasang irisnya tertuju pada sesosok laki-laki yang tengah berkutat dengan beberapa buku—membaca dan mencatat—dengan serius, sebelum akhirnya pemilik ruangan itu balas menatap. "Hi, sist."

Haesoo tersenyum tipis, menunjukkan telapak tangannya di bawah daun telinga. "Hallo, big bro."

Masih belum bergeser dari tempatnya, perempuan bersurai pendek di atas bahu itu mengalihkan atensi pada beberapa buku setebal kamus Bahasa Mandarin—yang hampir membuatnya mabuk sewaktu SMA—di atas meja belajar, juga beberapa pena warna-warni dan buku tulis yang terbuka. "Kau sedang apa?"

"Menerjemahkan, apa aku punya waktu untuk ngobrol?" Hoseok, lelaki di meja belajar itu, menyipitkan matanya dengan kening berkerut hebat yang dibuat-buat. Kombinasi menyenangkan untuk dilihat, sih. "Kau tahu aku selalu punya waktu untukmu."

Melihat kakak lelakinya mengambil pembatas buku di kotak sudut meja dan meletakkan masing-masing satu pada halaman buku bacaan tebal yang terbuka lantas menutupnya, Haesoo menyela cepat. "Kau bisa lanjutkan acara membacamu, kok. Aku tadi cuma kebetulan lewat."

Hoseok terkekeh. Ia mengangguk beberapa kali sembari tersenyum. "Tidak apa-apa, kok. Aku memang sudah hampir mabuk membaca buku setebal jari tengah Jimin itu."

Haesoo hanya mengangguk pelan sebagai respon, yang jelas tak dilihat oleh lawan bicaranya karena sibuk memberesi meja belajar. Tahu-tahu, entah berapa detik kemudian, kakak lelakinya itu bertanya, "Jadi, ada apa?"

"Huh?" Perempuan itu memandang sang kakak tak mengerti.

Si Jung sulung membuang napas pendek, "Kau tidak benar-benar berpikir kalau aku percaya dengan kata cuma kebetulan lewat, 'kan?"

Ah, tentu saja. Haesoo agaknya melupakan hal sederhana soal kamarnya dan sang kakak yang terletak di ujung kanan dan ujung kiri.

"Well," Si bungsu menarik dirinya dari bingkai pintu, berjalan menuju ranjang besar di dekat meja belajar, lalu duduk bersila menghadap pintu masuk. Ia menghela napas pendek sebelum kemudian menyandarkan tubuhnya di headboard. "Aku memang agak bingung soal sesuatu."

Hoseok menepuk keras pahanya, lantas beranjak dari kursi baca dan menghampiri sang adik. “Geser.” Katanya mengintimidasi.

Meski sempat menggeram tertahan, Haesoo menggeser bobotnya ke samping dengan malas. Sebelah tangannya mengambil bantal tidur untuk kemudian ia pangku.

"Nah, coba ceritakan bagian mana yang perlu pencerahan dariku." Hoseok terseyum lebar, yang menular pada Haesoo untuk ikut tersenyum—meski sekilas saja.

"Kemarin aku melihat film di bioskop. Film horor, kalau kau mau tahu. Sama sekali tidak ada adegan romantis yang berarti. Kau tahu, adegan dimana kau merasa tersentuh atau semacamnya." Menjeda beberapa detik untuk menghela napas, ia lantas melanjutkan dengan agak ragu. "Tapi hampir di penghujung film, seseorang seolah menjentikkan jarinya di depan wajahku lalu snap, aku teringat Jungkook."

Melalui sudut matanya, Haesoo bisa melihat sang kakak kini duduk bersila menghadapnya, menunggu saat yang tepat untuk berkomentar. Jadi perempuan itu membasahi bibirnya untuk kemudian menambahkan, "Dan aku menangis begitu saja."

Si bungsu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, membuang napas berat sebelum kembali menurunkan tangannya dan berkata dengan sedikit frustrasi. "Kukira aku sudah tidak mencintainya lagi. Tapi.. aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja mengingatnya, bertanya-tanya bagaimana kabarnya, apakah dia sehat, apa dia masih berkencan dengan gadis itu? Apa dia masih mengingatku? Mengingat hal baik tentangku?"

Intonasinya merendah pada dua kalimat terakhir.

"Pertanyaan itu berputar-putar liar di kepalaku, membuatku sulit berkonsentrasi dengan tugas kuliah. Praktis membuatku kesal setengah mati."

Hoseok mengangguk. Adiknya memang terlihat uring-uringan sejak kemarin siang, atau sore. Ia kira itu hanya persoalan wanita yang kedatangan tamu rutin setiap bulannya. Jadi lelaki itu diam saja, tak menduga sama sekali kalau sang adik tiba-tiba rindu pada mantan kekasih yang sudah tak ada kabar selama nyaris setahun.

"Biar kuperjelas. Jadi intinya kau rindu dia, dan berpikir kalau kau ini masih mencintainya, begitu?"

Haesoo menjatuhkan bahunya, menatap Hoseok tak yakin. Sementara yang ditatap hanya memberikan pandangan menuntut jawaban.

“Ya tidak tahu.” Si perempuan masih menoleh ke arah lawan bicara, namun pandangannya menerawang. “Aku tidak merasa jantungku berdebar-debar brutal ketika mengingatnya. Rasanya, normal-normal saja. Itu berarti kalau aku sudah tidak mencintainya, 'kan?"

Ketika sang adik kembali menatapnya dengan wajah kebingungan, Hoseok mengerutkan keningnya dalam sembari menghirup oksigen banyak-banyak melalui indera pembaunya—sampai pangkal hidung mancung lelaki itu berkerut lucu.

"Mungkin memang sudah." Tuturnya kemudian. "Tapi, Soo, rindu tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang kita cintai, 'kan?"

Hoseok ikut menyandarkan tubuhnya pada headboard. Lelaki itu mengulas senyum tipis yang membuat Haesoo mengerutkan keningnya samar. "Dan aku tidak pernah membenci Jungkook."

"Aku tidak bilang begitu." Si sulung memandang sang adik sekilas. "Maksudku begini; iya, betul jika rindu dan perasaan suka atau sejenisnya saling beriringan. Tapi, kau pasti pernah, entah bagaimana merindukan saat dimana kau menangis atau merasa kesal setengah mati. Atau merindukan seseorang yang membuatmu ingin merapalkan sumpah serapah sepanjang hari."

Meski terdengar tidak masuk akal, tapi toh gadis itu mengangguk samar. Ia mengalami hal semacam itu juga, meski tidak begitu sering. "Jadi maksudmu?"

"Dari segi pemahamanku, perasaan rindu itu datang agar kita bernostalgia sebentar, mengingat sesuatu atau seseorang secara lebih rinci—barangkali dulu ada yang kau lewatkan—untuk kemudian berterimakasih. Berterimakasih karena mereka memberimu banyak hal menakjubkan, meski beberapa diantaranya memerlukan waktu yang cukup lama untuk dipahami. Berterimakasih, karena ternyata hatimu masih hidup."

Lelaki yang kini memasuki tahun terakhirnya di bangku perkuliahan itu terkekeh ringan di akhir kalimatnya. Sepasang irisnya lantas memandang perempuan di sebelahnya dengan teduh. "Barangkali kau memang sudah tidak mencintainya. Tetapi kau masih merindukannya. Karena benda didalam rongga dadamu itu ingin berterimakasih."

Midnight ThoughtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang