Selfish

231 37 2
                                    

790 words

“Menikahlah denganku, Yoon.”

Si pemilik nama menatap perempuan yang tengah menyodorkan setusuk potongan waffle dihadapannya dengan sisa kesabaran yang dimilikinya. “Semakin kesini aku semakin tidak paham dengan ketegori permintaan aneh menurutmu.”

“Aku serius,” Perempuan itu berucap pelan, masih menatap pria kurus di depannya lurus-lurus.

Min Yoongi, pria kurus itu mengambil alih garpu berisi potongan wafle di tangan Eunji, untuk kemudian menyodorkannya di depan mulut perempuan di hadapannya ini. “Nah, Sayang, kenapa tidak kau beri aku alasan kenapa kita harus menikah?” Sepasang alis laki-laki itu menaik, dengan senyuman lebar yang dibuat-buat.

“Kau masih muda, tampan, pintar, pekerja keras dan kaya. Laki-laki dengan potensial tinggi untuk kunikahi.”

“Biar kuulangi pertanyaanku. Kenapa kau tidak memberiku alasan kenapa aku, harus menikahimu?”

Eunji tersenyum lucu dengan ekspresi Yoongi yang menurutnya tak jauh berbeda dengan pengasuh bayi yang sedang membujuk dirinya sendiri untuk tidak menguliti anak majikannya karena membuat darahnya mendidih.

Alih-alih bercanda, jawaban Eunji justru terdengar serius. “Karena hanya aku satu-satunya perempuan yang menghabiskan 22 jam bersamamu setiap harinya, dan satu-satunya perempuan yang saat ini berpikir bahwa kaulah satu-satunya orang yang kupercaya. Satu-satunya rumah yang kupunya.”

Yoongi masih mengacungkan garpunya di hadapan Eunji ketika perempuan itu sudah memasukkan potongan wafle di garpu ke mulutnya.

“Percakapanmu dengan Seokjin hyung berakhir buruk, ya?” Yoongi akhirnya berkomentar setelah menaruh garpunya di piring Eunji.

Perempuan pemilik marga Han itu menelan wafle di mulutnya untuk memberi jeda. “Entahlah. Dia hanya menjelaskan alasan kenapa menikahiku saat itu. Setelah aku bersusah payah mencari pengacara terbaik untuk menceraikannya agar dia hidup bahagia dengan isteri pertama dan anak semata wayangnya, dia malah mengatakan kalau dia sama sekali tidak merasa terpaksa menikahiku saat itu. Lalu, dia memintaku untuk tetap tinggal, atas permintaan isteri pertamanya.”

Eunji kembali memotong waffle di piringnya menggunakan garpu. “Ternyata isteri pertamanya sakit parah. Singkatnya, aku sendiri tidak yakin itu termasuk akhir pembicaraan yang buruk atau malah baik.”

Yoongi tidak langsung merespon. Lelaki berkulit pucat itu ikut memotong waffle dengan potongan kecil, memakannya untuk kemudian bertanya, “Kau selalu menjadi orang pertama yang kuprioritaskan, Ji. Selalu. Tahu kenapa?”

“Karena kau mencintaiku?” Kalimat itu meluncur dengan cepat dan sudah jelas jika itu bukan gurauan. Mereka sudah mengenal selama lebih dari 25 tahun, sejak keduanya belum bisa berjalan. Kalimat aku mencintaimu sudah terdengar seperti kalimat aku mau makan bagi keduanya. Tidak pernah terdengar manis, memang. Malah, nyaris selalu diucapkan dengan intonasi tanpa minat.

“Bukan. Lainnya.”

Eunji menatap Yoongi dengan alis menaik sebagai respon.

Laki-laki itu menghela napas pendek. Pandangannya jatuh pada potongan waffle yang belum sempat dia masukkan ke mulut. Kalimatnya begitu santai ketika mengucapkan, “Karena kau nyaris tidak pernah memprioritaskan dirimu sendiri.”

Eunji ikut memandang sisa waffle di piringnya sendiri. Terlebih ketika Yoongi mengucapkan kalimat yang cukup panjang, pandangan perempuan itu sama sekali tidak berpindah. Hanya kehilangan titik fokus.

“Kau selalu merasa tidak pantas untuk menaruh kebahagiaanmu sendiri diatas kebahagiaan orang lain. Kau selalu merasa bertanggungjawab untuk kebahagiaan semua orang. Kau mungkin juga tidak pernah menebak seberapa sering aku berharap, setidaknya satu kali saja, aku bisa membuatmu melihat Han Eunji melalui mataku. Aku ingin setidaknya satu kali saja, kau melihat betapa layaknya kau untuk mendapat semua hal menyenangkan di dunia ini.”

Eunji bisa mendengar helaan napas pendek dari Yoongi sebelum laki-laki itu kembali berujar, “Tidak apa-apa bersikap egois sesekali. Kau tidak akan hidup seribu kali di dunia ini.”

Perempuan itu mengerjap, berusaha mengembalikan titik fokusnya pada potongan waffle di piring. Tapi sepertinya dia gagal untuk tidak menunjukkan wajah ketus ketika membalas, “Kukira mengajakmu menikah sudah termasuk hal egois untuk dilakukan.”

“Benarkah?”

Pertanyaan itu sukses membuat Eunji memandang Yoongi dengan mata menyipit. “Kau tidak sedang memintaku untuk tetap tinggal dengan Kim Seokjin, 'kan?”

“Kalau kau mencintainya, kenapa tidak?”

“Lalu bagaimana dengan Yena?”

“Lihat, kan? Kau mau menikahiku karena merasa perasaanmu lebih layak untuk dikorbankan dibanding perasaan Yena.”

“Dia hanya anak berusia 6 tahun, Yoon, astaga. Dia ingin keluarga yang normal. Lengkap. Aku bisa melihat sorot keinginan itu di hari ulang tahunnya beberapa hari lalu.”

Yoongi meletakkan garpunya, menatap Eunji lurus-lurus.

“Begini, Anak Polos, biar kuperjelas sedikit. Jika Kim Seokjin sudah memintamu untuk tinggal, dia pasti sudah memikirkan semuanya dengan baik. Malah, harusnya jauh lebih baik dari yang bisa kupikirkan, mengingat dia sudah merencanakan ini sejak lama. Dia sudah memikirkan apa yang akan dikatakannya, atau dilakukannya pada Yena. Dia sudah memikirkan semuanya masak-masak.

Dia memilihmu, Ji. Dan kau mencintainya. Aku tidak tahu kau menyadarinya atau tidak, tapi dia sedang berusaha membuat Yena lebih mengenalmu. Dia berusaha melibatkanmu dalam kehidupan anaknya. Lalu apa yang kau khawatirkan?”

Melihat Eunji tampak berpikir keras, Yoongi menambahkan dengan sedikit lebih pelan, “Bersikaplah egois, kali ini saja. Dan semuanya akan lebih mudah. Tapi jika kau ingin memikirkan perasaan orang lain, kenapa kau tidak mencoba memikirkan perasaanku lebih dulu?”

Midnight ThoughtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang