04

948 184 19
                                    

Sudah hampir seminggu Jinyoung uring-uringan karena tiba-tiba merindukan Daehwi. Ia benar-benar tak bertemu lagi dengan Daehwi pasca pemuda itu berpamitan pergi ke Paris di pertemuan pertama mereka. Dan Jinyoung merutuki kebodohannya yang tidak meminta kontak pribadi pemuda itu. Apalagi Daehwi sama sekali tidak membaca email-email nya lagi.

Sebenarnya Jinyoung juga penasaran pada pemuda yang bermain piano di C'bang cafe tempo hari. Tapi pekerjaan kantornya menyita waktu banyak sehingga ia tak ada kesempatan untuk berkunjung ke cafe itu. Entah lah.. pemuda tunanetra itu benar-benar membuatnya penasaran. Ia juga ingin memastikan lagi jantungnya yang berdetak kencang hanya karena melihat senyuman pemuda itu.

"Jinyoung ? Kok melamun." Panggilan dari seseorang yang sedang di tunggui oleh nya itu membuyarkan lamunannya.

"Nenek udah bangun, hehe. Jinyoung gak ngelamun kok. Nenek mau minum ?" Tawar Jinyoung.

"Kapan nenek boleh pulang ? Udah bosen banget disini." Keluh wanita berumur tujuh puluhan itu.

Sudah hampir seminggu nenek Jinyoung di rawat di rumah sakit karena penyakit jantungnya yang tiba-tiba menjadi lebih sering kambuh. Nenek nya yang tinggal bersama bibi Jinyoung di Busan membuat Jinyoung meminta rumah sakit Busan merujuk nenek nya agar di rawat di rumah sakit Seoul supaya Jinyoung lebih mudah menjenguk dan mengurusi nenek tersayangnya.

"Disini kan nenek dapet perawatan intensif, yang penting nenek sembuh dulu jangan mikirin kapan pulang." Ucap Jinyoung sedikit menegur.

"Kelamaan disini juga pasti biayana besar. Nenek gak mau merepotkan kamu, nak." Lirih sang nenek.

"Gak ada yang di repotkan, nek. Ini udah kewajiban Jinyoung sebagai cucu nenek. Pokoknya nenek jangan mikirin yang macem-macem. Oke ?" Pinta Jinyoung.

Wanita tua itu tersenyum tipis lalu mengangguk. Sangat bangga memiliki cucu yang berbakti seperti Jinyoung. Padahal dulu ia khawatir, ketika dirinya semakin tua maka keluarganya akan mengabaikan nya karena sibuk dengan dunia kerja mereka masing-masing. Tapi Jinyoung masih selalu peduli padanya.

"Omong-omong, kamu udah ketemu sama nak Daehwi ?" Tanya nenek Jinyoung.

Jinyoung memang sering menceritakan Daehwi pada nenek nya. Juga ia pernah mengatakan bahwa dirinya dan Daehwi berjanji akan saling bertemu. Bahkan Jinyoung berjanji akan memperkenalkan Daehwi pada nenek nya. Tapi sepertinya kali ini Jinyoung harus ingkar janji pada sang nenek.

"Udah nek, seminggu yang lalu. Tapi.. Daehwi ketemu Jinyoung karena pengen pamitan. Dia dapet beasiswa ke Paris." Cerita Jinyoung.

"Sabar ya nak, kalo kalian berjodoh pasti nanti ketemu lagi kok." Nenek Jinyoung mengusap surai cucu tersayangnya itu.

Jinyoung tersenyum dan mengangguk. Ia melirik jam tangannya, merasa kesal karena harus segera berpamitan pada nenek nya. Hari ini ia ada janji dengan klien untuk membicarakan sesuatu. Meskipun Jinyoung hanya karyawan biasa, tapi kinerja nya yang luar biasa membuat atasannya selalu mempercayainya untuk menemui klien klien penting.

Jinyoung hanya berharap ia segera naik jabatan dengan gaji yang lebih besar agar bisa membiayai operasi jantung neneknya.

"Pergi dulu ya nek. Besok Jinyoung kesini lagi. Kalo bibi udah dateng, suruh bibi kabarin Jinyoung nek." Pria itu mencium tangan keriput neneknya.

"Iya, sudah sana nanti kamu telat kerja nya." Ucap sang nenek.

Jinyoung pun keluar dari ruangan itu dengan berat hati. Ia selalu ingin menemani nenek nya lebih lama, tapi apa daya jika ia memang harus bekerja.

Di perjalanan menuju halte, Jinyoung terus memikirkan Daehwi. Ia merindukan pemuda itu, rindu surat yang dikirim oleh Daehwi. Ratusan surat yang masih ia simpan selalu Jinyoung baca berulang kali tanpa bosan. Tapi Jinyoung memang ingin surat baru dari Daehwi, ingin tau kabar pemuda itu.

I Wanna See You [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang