VALOR ingin meledak.
Mereka berdiam diri terlalu lama, tidak produktif padahal kepolisian sedang gencar-gencarnya memburu Venom, dan kesabaran Valor yang setipis benang ternyata masih sanggup bertambah tipis. Ia bagaikan bom waktu yang dipercepat waktu ledaknya. Detik demi detik, amarah demi amarah, semua menjamin kehancuran absolut.
Barangkali Ray melihat asap mengepul lewat lubang telinga Valor, sebab pada suatu pagi nan dingin di akhir musim gugur, ia menempelkan handuk basah ke pipinya.
"Kau seperti mau meledak." Ray terkekeh, menekan handuk lebih keras sampai Valor menepis tangannya. "Ada apa?"
"Kenapa kita diam saja, sih? Si tua bangka dan genius-idiot mendadak tolol atau apa?"
"Hm." Bibir bawah Ray—lebih tebal ketimbang bibir atasnya—dimajukan sedikit. "Kita belum dapat perintah apa-apa dari Bos."
"Memangnya itu alasan?" dengus Valor. Pemuda berambut spiky itu segera beranjak menuju lantai dua, meninggalkan Ray di beranda belakang, langkah kaki dientakan kuat-kuat sehingga seisi mansion mengetahui kedatangannya. Ketika sampai di depan kamar Lucille, ia berteriak, "Buka pintunya, tua bangka! Kita perlu bicara!"
Pintu kamar Lucille terbuka sedetik kemudian, menampakkan kepala pemiliknya yang cemberut menanggapi panggilan 'sayang' Valor. "Hanya gara-gara aku yang paling tua di antara kalian, bukan berarti kau bisa menyebutku tua—"
"Aku mau rencana," pinta Valor.
"Apa maksudmu?"
Tanpa repot-repot menjawab, Valor langsung menerobos ke kamar Lucille yang bernuansa merah muda dan membanting tubuhnya di atas kasur berseprai merah muda. Warna kesukaan Lucille. Tidak heran rambut pirangnya juga dicat ombre warna serupa. "Kita tidak boleh diam saja! Pasti ada cara buat menghambat kepolisian."
Lucille bersandar di kusen pintu. Surai pendeknya nyaris menyentuh bahu ketika dia menalengkan kepala. "Sebetulnya aku tidak masalah," akunya, "tapi aku tidak tahu apakah bergerak tanpa perintah Bos adalah tindakan yang tepat."
Valor tak kuasa memutar bola mata. "Kalian para bokong pasif benar-benar terpaku kepada Bos, ya? Terutama kau, tua bangka. Bukan cuma urusan misi." Kalimat itu saja sukses membuat Lucille merona—Valor melihat dari sudut pandangnya, dan ia mengerang. "Enough with this pining bullshit, just kiss him."
Tangan Lucille terangkat. "Tutup mulut! Atau kau tidak ikut diskusi strategi."
Gadis itu minggat dari kamarnya sendiri setelah membanting pintu, wajah masih semerah lobster, dan Valor sekali lagi memutar bola mata.
oOo
Dua jam usai sarapan, Atlas mendapati dirinya berada di situasi familiar di mana dia beserta ketiga rekannya—Valor, Lucille, dan Jasper—duduk mengelilingi meja di ruang makan. Diskusi strategi misi, sudah lama sejak terakhir kali mereka melakukan itu.
"Bos tidak tahu banyak soal kegiatan Elit Sembilan dalam memburu kita, jadi secara teknis, kita tidak punya bahan buat menghentikan mereka," terang Lucille mengawali diskusi. "Belum lagi sikap kepolisian yang cenderung mulai menutup diri dari media. Kita tidak punya pilihan selain memanfaatkan informasi dari hal-hal umum yang diketahui orang banyak, semisal kenyataan bahwa kepolisian sembilan distrik telah menjalin kerja sama."
"Kepolisian dengan sumber daya tertentu pasti membantu kepolisian lain yang kekurangan. Sebut saja kepolisian Aguare yang mengirim pasukan ke Distrik Astro guna memperkuat pertahanan di sana. Tidak perlu jadi polisi buat memahaminya," sambung Jasper. Pagi ini ia telah menghabiskan seteko teh hangat seorang diri demi mengusir kantuk. Udara dingin kerap membuatnya ingin hibernasi atau tidur selamanya saja sekalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
heart of terror
Actioncover by the talented @BYBcool *** Sembilan orang itu disebut Venom, sekelompok teroris yang perlahan-lahan terungkap sosok aslinya melalui halaman demi halaman yang kau baca dalam kegelapan. Tetapi jangan beri tahu pihak kepolisian; Ada Letnan Char...