AWAL mula Charles membuka mata, dia menjumpai warna putih di mana-mana. Seprai putih, ranjang putih, dinding putih, lantai putih. Tingginya intensitas warna putih di tempat tersebut membuatnya curiga dia telah terbangun di alam baka. Namun, nyeri yang berdenyut-denyut di kepala dan punggungnya bersifat terlalu nyata untuk dapat berbohong.
Charles memijit dahi. Sakit. Lalu dia mencoba duduk dan menggerakkan kaki. Sakit juga. Semua terasa sakit dan dia berjengit gara-gara sentuhannya sendiri.
Tak berselang lama kemudian, ketika keadaan mulai jelas sesudah dia mengerjap-ngerjapkan mata, Charles baru menyadari eksistensi warna lain di sana: surai keemasan. Serta fabrik biru pucat. Itu adalah Connor yang sedang mengenakan seragam Divisi Pertahanan, duduk bersandar pada kursi plastik—yang juga putih—di sebelah ranjang Charles. Kepala Connor jatuh ke bantal donat yang mengalungi lehernya, mata terpejam ditaklukkan kantuk.
Sama seperti ruangan ini, beberapa bagian tubuh Connor juga tak luput berhiaskan yang putih-putih. Katakanlah, balutan perban pada sebelah lengannya, serta kapas dan plester di pipi dan pelipisnya.
Keberadaan Connor sontak membangkitkan kenangan pahit mengenai operasi pemindahan Ray yang berujung kekacauan. Pening mendera kepalanya dan Charles yakin yang satu ini tidak dipicu oleh cedera. Menggeleng pelan, sang letnan berupaya mengusir bayang-bayang kecemasan perihal berapa banyak korban yang tewas, sebesar apa kerugian yang mereka alami, dan bagaimana pamannya akan bertanggung jawab atas segalanya. Itu pun jika dia selamat.
Charles bergeser sedikit ke tepi supaya dapat menggapai adiknya. "Hei, Dik," ia memanggil pelan, mengguncang-guncang bahu Connor. "Bangun."
Connor menggeliat, kepalanya berputar ke sisi lain bantal. Dengkuran terdengar.
"Hmm, malah tambah pulas," Charles setengah menggerutu, setengah menahan senyum. Ingin sekali mengabadikan momen menetesnya liur di sudut bibir Connor tetapi apa daya dia tidak tahu di mana ponselnya berada. Kemungkinan besar ikut menjadi korban.
Meninjau dari pengalaman masa kecil, Charles tahu sebatas panggilan dan guncangan tak selalu mempan buat membangunkan Connor, terutama saat dia kelelahan, dan sekarang dia memang tampak kelelahan. Charles bertanya-tanya berapa lama ia tertidur dan sejak kapan Connor menunggunya. Apabila sudah cukup lama, maka dia bersedia bertukar tempat agar adiknya bisa beristirahat di ranjang. Masalahnya cuma satu: Connor tidak bangun-bangun.
"Yah, terima kasih karena sudah bertahan hidup, kurasa," gumam Charles, berakhir mengurungkan niat untuk mengusik tidur lelap Connor.
Sang adik mendengkur lebih keras. Posisi duduknya perlahan-lahan memerosot sehingga mendorong bokongnya ke ujung bangku.
Kepulasan Connor membawa kedamaian tersendiri bagi Charles. Meski kenangan insiden tempo waktu lalu terus berseliweran di benaknya, Charles merasakan kelopak matanya kembali memberat. Maka dia lekas berbaring, menjelajahi alam mimpi untuk kali kedua.
oOo
Tidur lanjutan Charles berlangsung singkat dan dia terbangun dalam keadaan jantung terpacu, sebab adiknya tidak bisa jatuh terjungkal tanpa menimbulkan keributan.
Charles melihat ke bawah tempat tidur dan di sanalah Connor, bersama bangku plastik yang tadi ditempatinya, tergeletak tak berdaya. Connor mengerang selagi berusaha menegakkan kaki dan mendirikan bangku. Bantal donat yang memeluk lehernya mencong ke kanan, alhasil menjadi pelindung leher yang kurang efektif. Tempurung kepalanya yang menghantam lantai diusap-usap penuh derita.
"Aw." Charles ikut meringis, agak merasa bersalah sekaligus bersyukur atas kejadian itu karena—"Hei, setidaknya kau bangun."
"Beginikah caramu membangunkan adik tunggalmu, huh, Kakak?" balas Connor sengit.
KAMU SEDANG MEMBACA
heart of terror
Accióncover by the talented @BYBcool *** Sembilan orang itu disebut Venom, sekelompok teroris yang perlahan-lahan terungkap sosok aslinya melalui halaman demi halaman yang kau baca dalam kegelapan. Tetapi jangan beri tahu pihak kepolisian; Ada Letnan Char...