"Anak-anak, silakan masukan ponsel dan buku catatan ke dalam tas masing-masing karena hari ini kita ulangan," intruksi Bu Heni—guru matematika—yang secara tiba-tiba membuat seisi kelas XI IPA 3 melongo. Termasuk Dera yang belum lama duduk dibangkunya karena berangkat tiga menit sebelum bel berbunyi.
Demi Tuhan, ia masih sangat lelah karena berlarian dari gerbang menuju kelasnya yang terletak di lantai dua. Dan disaat napasnya masih memburu seperti ini, ia harus mengerjakan soal super mematikan itu?
Ulangan dadakan seperti tahu bulat ini benar-benar menambah daftar kesialannya. Setelah dimarahi sang mama karena bangun kesiangan, hampir menabrak kucing yang menyeberang jalan karena ia membawa motornya secara ugal-ugalan, hingga diceramahi satpam karena hampir terlambat.
Dera berdecak pelan, sedang tangannya mengacak-acak rambutnya. Belum apa-apa, kepalanya sudah terasa panas memikirkan bagaimana caranya ia mengerjakan soal nanti. Bukan apa-apa, cewek itu sudah merasa optimis tidak bisa mengerjakan karena dia lemah dalam pelajaran matematika. Selain itu, dirinya juga tidak belajar semalam.
Lembar soal mulai dibagikan. Soalnya ada lima dan berbentuk essay. Dan sudah persis yang Dera duga, dia tidak bisa mengerjakan satu soal pun karena tak ada yang nampak mudah dalam kelima soal tersebut. Bahkan, kepalanya sudah terasa pening tak karuan melihat soal-soal itu. Oke, ini benar-benar bencana.
Harus menggunakan rumus apa untuk nomer satu saja ia tak tahu. Bukannya ia tidak mau berusaha, tapi semakin ia memaksakan diri untuk berpikir, kepalanya terasa seakan ingin meledak. Dan Dera semakin frustasi saat tak sengaja menatap jam dinding yang terletak disudut. Pasalnya, kertasnya sama sekali belum terisi jawaban apapun padahal waktu sudah berjalan lima belas menit. Hanya nama dan kelas yang sudah ia coretkan di sana.
Dera menatap sekeliling. Semuanya bekerja sama dengan teman sebangku. Ingin rasanya ia memanggil Adit, Kevin, maupun Kara untuk meminta contekan. Namun ia takut jika nanti malah ketahuan lalu ia dihukum atau disuruh mengerjakan di luar. Hell no!
Dera pun melirik Revan lalu mendesis kesal setelahnya. Dia tahu jika teman sebangkunya ini pintar, tapi apakah mungkin cowok songong itu mau memberinya contekan? Melirik Revan sekali, Dera kembali mendesis. Merutuki sikap cowok itu yang sama sekali tidak memberinya celah untuk menyontek.
Jarum jam dinding terus berputar, sedangkan kertas jawaban Dera masih bersih. Tak terasa, waktu ulangan tinggal dua puluh menit lagi. Revan sudah selesai mengerjakan dan menutup bolpoinnya serta membalikkan kertas jawabannya. Tak mempedulikan Dera yang sedari tadi bergerak gelisah.
Apa gue minta contekin Revan aja, ya? Siapa tau ternyata dia mau.
Dera sedikit menimang-nimang atas pikiran yang barusan terlintas di otaknya yang sudah sangat panas. Ingin meminta contekan, tapi ia gengsi. Tapi jika tidak meminta contekan, dirinya tidak bisa mengisi. Sial, harus bagaimana dirinya sekarang?!
Baiklah, karena sudah buntu, Dera memilih opsi pertama. Dengan pelan ia menendang kaki Revan. Tak butuh waktu lama bagi cowok itu merespon karena sekarang ia menoleh dengan wajah jengkel dengan tatapan 'apaan sih lo?'
Dera meringis garing lalu mengusap lehernya sebentar. Kepalanya sedikit ia majukan ke cowok itu kemudian berkata dengan lirih. "Ehem, Rev, lo, kan, pinter nih. Nah, lo mau nggak jadi orang pinter sekaligus jadi orang baik? Kalo lo mau, nih gue kasih tau caranya. Sebagai orang baik, kan wajib tuh buat berbagi. Gimana kalo lo bagi jawaban ulangan lo ke gue? Biar dapet pahala gitu karena lo udah jadi orang baik."
YOU ARE READING
Impossible Possibility
Teen FictionAlderaya new version [on going] Rasa-rasanya, bumi akan runtuh dan dunia akan terguncang jika Dera dan Revan tidak adu mulut sehari saja. Hanya karena masalah sepele dihari pertama Dera masuk sekolah sebagai murid baru, keduanya bak kucing dan tikus...