07 🏅 Kuli Apa Yang Bikin Uttam Bahagia?

36.3K 5.9K 471
                                    

Bahagia itu sederhana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bahagia itu sederhana. Bahkan hanya dengan menyadari orang yang disuka ada di bawah langit yang sama, hatimu sudah berbunga-bunga.
🏅🏅🏅

Rambut Uttam yang tidak memakai gel tampak kusut akibat tertiup angin sepanjang jalan menuju sekolah.

Gara-garanya, ia berangkat bersama Tristan, menaiki motor besarnya itu. Sesaat, Uttam juga merasa fungsi pendengarannya berkurang. Matanya juga perih.

Maka, di sela-sela kesibukannya merapikan kembali rambut lewat menyisir dengan tangan, Uttam meninju lengan Tristan. "Gak bisa selow banget sih jadi manusia."

Tristan, yang baru saja menggantungkan helm kontan berdecak dan menoyor kepala teman bertubuh mungilnya itu. "Masih syukur gue bolehin lo nebeng."

"Tapi kan, nggak usah ngebut." Uttam mengerucutkan bibir. "Lo juga tahu badan gue ringan kayak kapas. Kalo ketiup angin gimana?"

"Lebay." Tristan meninggalkan Uttam, bersama kendaraan-kendaraan lain yang menyesaki parkiran sekolah.

"Hih."

Seandainya saja Marcel tidak sedang keluar kota, Uttam tidak perlu ikut dengan Tristan.

Bara? Tidak. Uttam tidak ingin menjadi obat nyamuk di antara Bara dan Mangi. Bisa-bisa, ia larut dalam kecanggungan dan hanya bisa melihat pemandangan di luar jendela sepanjang perjalanan.

Sebenarnya, ia tidak merasa segan terhadap Bara ataupun Mangi. Keduanya adalah temannya sejak ia masih suka duduk menonton anak-anak bermain daripada ikut mengejar layangan atau main kelereng.

Bara adalah teman yang asyik, dia akan memberikan sebagian kelerengnya jika dia menang kepada Uttam. Mangi juga tidak kalah menyenangkan. Dia adalah sosok keibuan yang mengingatkan Uttam pada Bunda.

Lengkungan samar tampak di wajahnya. Pulang sekolah nanti, ia ingin mengunjungi pusara ibunya.

Apa perlu ia mengajak Ukvan? Uttam ragu kakaknya bisa ikut. Dia tengah berada pada masa-masa krisis perkuliahan. Penyusunan skripsi dan menghadapi dosen pembimbing yang ajaib.

"Tatam."

Dari lapangan basket yang merangkap sebagai lapangan upacara, Maudi melambai-lambai. Cewek itu meletakkan tangan di dahi guna meminimalkan cahaya matahari menyorot wajahnya.

Maudi memang suka mengganti nama orang dengan seenaknya.

"Apa?" Uttam mendekati Maudi dan menatap matanya yang menyipit.

"Punya dua topi nggak? Gue lupa bawa."

Hari Senin, upacara bendera. Jika tidak memakai atribut lengkap, tentu saja akan dipisahkan dari barisan kelas dan mendapatkan hukuman. Entah itu kegiatan membersihkan tempat, memungut sampah, atau yang lainnya.

"Pinjem aja ke anak-anak PMR, mereka kan topi PMR. Yang biasa pasti nggak dipake."

"Oh iya." Mangi menepuk dahi.

"Udah ah gue mau ke kelas."

Kelas Uttam berada di lantai dua, tenaga yang dibutuhkan jelas lebih banyak dibanting kelas yang berada di lantai satu. Uttam bergidik ngeri, apalagi kalau nanti sudah kelas dua belas, kelasnya ada di lantai tiga.

"Ih jangan dulu. Temenin nyari topi."

Sebelum Uttam sempat membalas ucapan Maudi, cewek itu sudah menarik lengannya. Mengembuskan napas lelah, Uttam mengekor tanpa protes.

Anak-anak ekskul PMR tampak sudah mengenakan atribut mereka. Topi warna merah tua berlogo palang merah, dan syal. Tandu untuk mengangkut seseorang yang sakit sudah dikeluarkan.

Tidak tahu satu angkatan, atau kakak kelasnya–dan tidak begitu peduli juga–Maudi tersenyum dan mulai membuka mulut, "Pagi kakak-kakak. Ada yang bawa topi SMA nggak? Pinjem dong."

"Emang temen sekelas lo nggak ada yang PMR?" tanya Uttam.

"Ada sih, tapi dia nggak bawa topi SMA."

Pertanyaan Maudi sebelumnya mendapat respons dari seorang cewek berambut cokelat sebahu. Matanya bulat, dengan pipi bulat pula dengan bibir semerah ceri.

"Punya gue aja."

"Oh." Maudi menerima topi dari kakak kelasnya itu. "Makasih, Lu."

Seperti biasa, Maudi tidak memiliki keinginan untuk memakai embel-embel Kakak saat memanggil seseorang yang lebih tua.

"Sama-sama." Lulu menunjukkan senyum manisnya, dan kembali bergabung dengan kesibukan anggota PMR lainnya.

Uttam beberapa kali bertemu dengan Lulu. Dia adalah anak pemilik yayasan sekaligus anak dari wali kota. Orangnya baik, tetapi tidak terlalu pintar. Seperti Mangi dan Maudi, dia adalah atlet senam ritmik.

"Udah dapet, ayo balik lagi."

Uttam mendengus, ia bahkan belum menyimpan tas di kelas.

Di tengah perjalanan, Uttam dan Maudi berpapasan dengan Amanda yang tengah mengeluarkan dasi dari dalam tas. Dia tersenyum singkat dan buru-buru masuk ke dalam kelas.

Selama itu, mata Uttam mengikuti ke mana Amanda pergi.

"Tatam."

"Hmm."

"Kuli apa yang bikin lo bahagia?"

"Hah?"

Apa yang diucapkan Maudi kadang bisa absurd sekali. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba saja cewek itu mengajukan pertanyaan, yang cenderung pada teka-teki.

"Kuli ... kuliah?"

Uttam sangsi dengan jawabannya sendiri. Kalau mendengar cerita kakaknya, dunia kuliah tidak seindah apa yang ditayangkan di televisi.

"Bukan." Maudi menggeleng.

"Apa dong?"

Maudi tersenyum jail. "Kuli ... hat Amanda di depan mata! SENENG YA LIAT TEMEN GUE?!"

Wajah Uttam memerah seperti kepiting rebus. "Apaan sih."

Daripada meladeni Maudi yang semakin tidak jelas, Uttam menjejak satu per satu tangga.

Di lantai dua, napasnya memburu.

Senang katanya?

🏅🏅🏅

Hallo.

TO tinggal 2 hari lagi aye.

Sekarang kalian manggil Uttam dengan Uttam atau Tatam?

Next or next?

See you:)

Utara (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang