12 🏅 Payung Biru Uttam

31.2K 5.7K 867
                                    

Semua orang punya hak yang sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semua orang punya hak yang sama. Ego dan pandangan bersifat mengekang saja yang membuatnya tampak berbeda.
🏅🏅🏅

Uttam merasakan rintik-rintik hujan pada telapak tangan. Dia mundur dan duduk pada bangku kayu di selasar kelas. Rencananya, ia akan pulang dengan Bara, berhubung Mangi mulai sibuk dengan persiapan kejuaraan senam ritmik.

Bara memintanya untuk menunggu karena dia perlu pergi ke koperasi, berhubung ada buku materi biologi yang baru.

Bosan menunggu Bara di selasar, Uttam bangkit dan mengeluarkan payung lipat biru yang dibelikan Bi Laila kemarin. Payung yang digunakan Uttam tidak pernah awet. Entah kawat payungnya, atau macet.

Dia menembus hujan untuk pergi ke parkiran sekolah, menunggu di sana agar nanti langsung masuk ke mobil bila urusan Bara sudah selesai. Langkah-langkahnya terpilih, menghindari genangan agar sepatunya tidak semakin basah.

Baru saja menginjakkan kaki ke koridor yang menuju parkiran sekolah, Uttam berpapasan dengan Geri, teman sekelasnya. Cowok itu jangkung, rambut berjambul dan kulit kecokelatan. Geri merupakan atlet basket sekolah, dan dalam pelajaran olahraga ia satu tim dengannya untuk praktik basket.

"Cowok kok pake payung."

Uttam yang sedang menggoyang-goyangkan payungnya agar tetes air berjatuhan, segera mendelik. "Ya terus?"

"Lemah amat hujan segede gini doang pake payung."

Uttam tahu kalau Geri tak suka padanya. Tak lain karena Uttam tak berperan penting dalam tim, atau bahkan bisa dibilang sebagai batu sandungan.

"Terus kodratnya cowok kalo hujan pake apaan? Pelepah pisang? Apa ada tulisan di payung gue 'woman only'?"

Geri tidak membalas, malah berbicara dengan temannya yang tidak Uttam kenal.

Tidak penting, pikir Uttam dalam hati. Masih saja, orang lain menggeneralisasi sesuatu dan berpikir kalau itu adalah sesuatu yang mutlak.

Di parkiran, yang merupakan area terdekat ke gerbang sekolah, Uttam membalas tatapan seseorang yang tengah meneduh di dekat pos penjaga. Karena tidak melihat orang lain lagi yang ia kenal, Uttam mendekati Amanda dan ikut meneduh di sana.

"Hei."

"Hei."

Jarak di antara mereka diisi suara hujan kembali. Juga lirikan yang terlalu takut untuk dibalas.

"Nggak pulang?" Uttam melontarkan pertanyaan, sekadar berbasa-basi.

"Hujan. Nggak bawa motor."

Posisi SMA Senjakarsa yang tidak berada di samping jalan besar membuat letaknya tidak berdekatan dengan halte. Jalan-jalan yang dinaungi pohon-pohon tidak cukup mampu melindungi pejalan kaki dari air hujan.

"Kakak?"

Uttam tidak biasa dipanggil dengan embel-embel kakak. Maudi jarang melakukannya, dan karena ukuran tubuhnya yang mungil, kebanyakan menganggap Uttam berada di tingkatan lebih bawah.

"Nunggu temen."

Amanda hanya mengangguk singkat, lalu menunduk, memperhatikan tali sepatunya yang mulai kotor.

"Nggak bawa payung ya?"

"Iya."

"Mau minjem punya gue?"

"Eh?" Amanda kini benar-benar menatap Uttam.

Tinggi Uttam hampir sama dengannya. Walau memakai payung, ada titik basah di seragam bagian bahu cowok itu. Tatapannya polos, seperti anak kecil. Dari mata itu, ada ketulusan yang bisa Amanda lihat tanpa harus berpikir lama.

"Bara bawa mobil. Jadi, payung gue bisa lo pake." Uttam menyerahkan payung birunya, yang belum dilipat dan mengembang sempurna.

"Oh." Amanda menerima dengan mata mengerjap cepat, dan tangan yang tiba-tiba terasa dingin. "Makasih, Kak. Nanti aku titipin ke Maudi."

"Iya."

Namun, Amanda tidak pergi saat itu juga. Ia masih berdiri di sana, mengikuti arah pandangan Uttam. Menunggu siswa olimpiade biologi yang seragamnya sering dikeluarkan sebelah.

"Kok belum pulang?" Uttam bertanya lagi, kini suaranya diliputi keheranan.

"Nunggu kakak, rasanya nggak sopan kalo aku langsung pergi gitu aja."

"Santai." Uttam tertawa. "Bara sebentar lagi datang kok."

Amanda tersenyum kecil.

"Eh, gue jadi inget kejadian dua hari yang lalu. Soal rambut dan kostum ekskul dance lo."

"Kenapa, Kak?" Amanda tidak menyembunyikan rasa penasarannya.

"Gue baru ngalamin soal stereotip. Katanya, cowok ngapain pake payung? Aneh banget."

Amanda mengernyit, sejauh pengetahuannya, tidak ada aturan pasti soal penggunaan payung. Benda ini bersifat universal, bisa dipakai siapa saja.

"Emang dia pikir cowok itu waterproof apa."

Tawa Amanda meledak saat itu juga.

Uttam ikut tertawa setelahnya, sambil matanya menatap lekat pada Amanda. Matanya yang beriris hijau dan jernih seperti danau itu.

Tak hanya senyumnya manis, kalimat-kalimat Uttam juga terdengar lucu.

"Nah, itu Bara."

Cowok yang dimaksud Uttam menghalau hujan dengan tangan. Tanpa menoleh ke arah Uttam, Bara masuk ke mobilnya yang diparkirkan dekat pohon lengkeng.

Sudah duduk nyaman di kursi mobil pun, Amanda dapat melihat Uttam masih repot-repot melambaikan tangan padanya.

Sudah cukup alasan Amanda untuk tersenyum hari ini.

🏅🏅🏅

Apa harus ada challenge dulu biar pada rame:')

Menurut kamu sendiri, Uttam itu kayak gimana sih?

Next or next?

See you:)

Utara (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang