Tidak semua orang memiliki reaksi yang sama untuk suatu hal. Berhenti menggeneralisasi sesuatu hanya berdasarkan pandanganmu sendiri.
🏅🏅🏅"Apa gue juga harus ngado?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja saat melihat Maudi dan Pingkan meletakkan kotak masing-masing di atas meja.
Kini, mereka tengah berada di restoran makanan Jepang yang setengah penuh. Dari tempat duduk mereka yang paling dekat dengan jendela, tampak jalan satu arah yang padat, juga penjual aksesoris yang memenuhi bagian khusus di trotoar.
Hadiah-hadiah itu langsung Maudi masukkan ke dalam tas Amanda agar cewek itu tidak bisa menolak.
"Eh? Nggak usah, Kak." Amanda menggeleng sopan.
Sejujurnya, ia sedikit canggung karena ada orang baru yang dilibatkan dalam acara mereka bertiga. Sejak tadi, Amanda memainkan tali tudung jaketnya.
"Oh, oke. Tapi makanannya gue yang bayar aja ya."
"Apa? Ng-nggak us–"
Ucapan Amanda segera dipotong Maudi dengan senyum lebar yang tampak menyebalkan di mata Amanda. "Ya ampun Tatam baik banget. Makasih loh!"
Di bawah meja, kaki Amanda menginjak milik Maudi, sempat membuat si empunya mengaduh dan kini mereka saling memelototi.
Seakan-akan tidak memedulikan Amanda dan Maudi yang berdebat tanpa kata, Uttam tertawa kecil. Poninya yang menyapu alis ia sisir dengan jari ke samping.
Amanda tidak pernah menggolongkan laki-laki secara khusus tergantung penampilan mereka. Namun, mau tak mau kini pikirannya meluas sejak melihat Uttam.
Ada yang memiliki pesona maskulin seperti Bara. Dengan rahang tegas, hidung mancung dan alis tebal. Ada juga yang pesona maskulinnya lebih lembut, tetapi enak dipandang. Marcel adalah contohnya.
Uttam berbeda. Dia termasuk laki-laki dengan wajah manis dan pesona yang cenderung feminin. Seperti anak kecil.
Amanda tidak pernah keberatan dengan pesona apa pun, atau lebih tepatnya keputusan orang lain ingin tampak seperti apa.
"Lo jarang traktir kalo bareng-bareng sama Compass Boy yang lain," ucap Maudi tiba-tiba.
Bukan dirinya yang berbicara seperti itu, tetapi entah mengapa justru Amanda yang malu. Ucapan Maudi sedikit tidak sopan baginya.
"Mereka nggak memperbolehkan gue traktir." Uttam membalas datar.
"Kenapa, Kak?" Pingkan mencondongkan tubuh ingin tahu.
"Mereka selalu menganggap gue sebagai anak bungsu." Kening Uttam yang semula mulus kini mengerut. "Iya sih gue paling muda. Tapi gue rasa nggak ada hubungannya."
"Bara yang lebih sering traktir."
Uttam mengangguk mengiakan pernyataan Maudi. "Our 'dad'."
KAMU SEDANG MEMBACA
Utara (SUDAH TERBIT)
أدب المراهقينSUDAH TERBIT-Beberapa chapter telah diunpublish-[BOOK ONE OF COMPASS BOY TETRALOGY-Pemenang Wattys 2019 kategori Young Adult] Katanya, yang terbaik adalah menjadi diri sendiri. Katanya juga, menjadi diri sendiri membuatmu istimewa. Nyatanya, orang-o...