20 🏅 Ruang Harap

26.7K 3.7K 404
                                    

Happy reading, Compass Readers!***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading, Compass Readers!
***

Suka, tetapi aku milih untuk mengagumimu diam-diam saja.
*

**

Seperti apa yang dia katakan kepada Uttam, Amanda kini duduk di ruang tengah bersama Ira. Tumpukan-tumpukan kertas mengisi salah satu space meja di tengah ruangan. Di sebelahnya, ada tote bag dengan tulisan Don't call it a dream, call it a plan yang jumlahnya disesuaikan dengan daftar. Lalu, hadiah-hadiah kecil lainnya untuk peserta yang mengikuti seminar ibunya.

"Ada hal menarik hari ini, Manda?"

Amanda sedang meregangkan tangannya karena pegal saat Ira bertanya demikian. "Ya? Ng-nggak juga."

"Nggak juga tapi kamu senyam-senyum sendiri dari tadi." Ira mengecilkan volume televisi. "Ada apa? Mama mau tahu."

Panas menjalar di pipi, Amanda menggigit bibir dan menyunggingkan senyum sekilas. Ira pendengar yang baik, dia juga tidak pernah berkomentar macam-macam.

Masalahnya, Amanda tidak pernah membicarakan soal lawan jenis bersama ibunya. Paling-paling yang ia bicarakan adalah tugas-tugas melimpah dari guru, fasilitas baru sekolah, sampai atmosfer tidak menyenangkan di ekskul dance-nya. Terakhir kali, Amanda bercerita bahwa dirinya tidak aktif lagi di grup paduan suara karena memilih fokus pada penampilan nanti.

"Itu sih, Ma. Ada temen."

"Cowok, ya?" Ira menyembunyikan senyum, takut kalau Amanda tidak jadi bercerita.

Melihat senyum Amanda berubah kaku, Ira mengangguk maklum. "Kalau Manda nggak siap bercerita, nggak apa-apa kok. Tapi ingat satu hal, kurangi harapan."

"Maksudnya, Ma?"

"Dengan tidak berharap terlalu tinggi, Manda bisa mengurangi rasa sakit yang didapat jika hasilnya tidak sesuai yang dipikirkan. Bukan Mama bersikap pesimis, tapi Manda harus selalu ingat, manusia bukan tempat yang tepat untuk menggantungkan harap."

Amanda menatap tumpukan pekerjaan yang selesai. Satu, dua, ... memberi jeda pada pikirannya memikirkan ucapan Ira. "Aku nggak berharap seperti itu kok, ya ... aku cuma suka, mungkin lebih tepatnya kagum."

"Kita mengagumi banyak orang." Ira membenarkan letak kacamata yang dirasa miring. Suhu ruangan terasa dingin, karenanya dia menekan tombol pada remote pendingin ruangan. "Itu wajar, Manda. Siapa namanya?"

"Mmm ... Kak Uttam." Suara Amanda terdengar seperti bisikan. "Dia kakak kelasku."

"Namanya bagus, ya."

Amanda mengangguk malu-malu. "Iya."

"Bukan namanya dong, yang membuat Manda kagum." Ira berasumsi.

Ada terlalu banyak yang bisa Amanda sebut mengapa ia bisa mengagumi Uttam. Prestasi, pemikiran, cara dia menatap, senyum manisnya, rambut lembutnya, mata indahnya.

Utara (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang