19 🏅 Pilihan

22.2K 3.8K 209
                                    

Happy reading, Compass Readers!*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading, Compass Readers!
*

**

Bahagia lahir darimu yang menentukan pilihan dan bukan sebuah pemberian.

***

"Jadi, gue punya rencana untuk melanjutkan kuliah."

Tangan Uttam yang kurus menyangga dagu cowok itu, sementara matanya menatap sedemikian rupa. "Lalu?"

"Untungnya, orang tua mendukung keputusan ini. Gue juga nggak ditekan untuk lulus di suatu jurusan ataupun universitas secara khusus."

"Masih ada cerita selanjutnya?" Uttam memastikan.

"Ada, Kak. Adiknya ayah, punya pemikiran kalau perempuan itu nggak perlu sekolah tinggi-tinggi, nggak perlu jadi sarjana, nggak perlu punya karir bagus. Katanya, toh nanti tetap jadi ibu rumah tangga dan bekerja di rumah. Padahal dia juga perempuan. Menurut kakak, gimana?"

Salah satu alis Uttam terangkat. Selain itu, ekspresinya tidak berubah banyak. Amanda takut ada yang salah dengan ucapannya. Apa ia menyinggung sesuatu?

"Bukan cuma adik ayah lo yang punya pemikiran kayak gitu, banyak malah." Uttam membenarkan posisi duduknya, lebih tegak. "Yang pertama, kita nggak bisa mengubah persepsi atau pandangan orang dengan mudah. Gue percaya ada faktor yang menyebabhkan dia berpikir demikian. Dia lebih nyaman melakukan pekerjaan rumah daripada bekerja di luar, di lingkungannya nggak banyak perempuan jadi wanita karier, atau pemikiran yang sama diucapkan kepada dia berulang-ulang."

Amanda tidak tahu faktor mana yang menyebabkan Bibinya berkata seperti itu. Saat kumpul keluarga, Amanda sempat mendengarnya mengeluh karena banyak peralatan yang harus dibersihkan seusai makan bersama. Mungkin yang kedua.

"Tapi, ucapan orang lain memang bisa mempengaruhi. Misal, pasangannya bilang lebih baik dia di rumah daripada capek bekerja. Adik ayah lo berpikir, 'oh iya juga'. Dan dari pengalamannya itu, dia percaya bahwa hal serupa akan terjadi dan baik untuk orang lain. Padahal, jawabannya belum pasti."

Seperti mendengar penjelasan pelajaran dari guru atau yang lainnya, Amanda mengangguk-angguk. Ia dapat membayangkan, jika dirinya sebaya dengan Uttam dan sekelas dengannya, Amanda tidak akan bosan untuk membahas sesuatu. Hal-hal remeh, peristiwa terbaru, kabar yang heboh di masyarakat.

Percakapan yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga berisi.

"Bisa jadi, Kak. Di sekitar tempat tinggalnya, maksud gue rumah nenek, sangat sedikit perempuan kuliah pada masa itu. Gue sedikit bersyukur, anak adik ayah itu laki-laki semua."

Uttam tertawa kecil. "Nggak perlu khawatir waktu mau lanjutin pendidikan, ya."

"Kalo pandangan Kak Uttam sendiri tentang perempuan pengejar gelar pendidikan dan karier bagus gimana?"

Sekilas, Amanda tidak mengerti sebab perhatian Uttam malah tertuju pada Mangi dan atlet senam ritmik lainnya. Mereka dalam posisi yang sama, berbaring menyamping, salah satu kaki terangkat dan melakukan split. Mereka melakukannya berulang-ulang.

"Gue selalu kagum kepada orang yang punya tujuan, tahu cara mencapainya, dan mau berusaha alias nggak cuma tahu teori. Nggak memandang gender ya, Manda. Di mata gue laki-laki dan perempuan punya posisi yang sama dalam hal ini. Orang di sekitar gue, seperti Mangi, Bara, Marcel, Tristan, dan yang lainnya punya tujuan masing-masing, dan berusaha mencapainya. Gue bangga sama mereka."

Segaris senyum terbentuk, menemani pandangan Uttam yang masih tertuju kepada Mangi. "Kata Mangi, proses itu conditioning. Bukan cuma itu gerakannya, banyak. Biar tubuh mereka tetap lentur, terbiasa melakukan gerakan yang lebih ekstrem, dan biar nggak kaku. Itu tahapan paling malesin katanya, karena sakit dan pegel, dan capek. Tapi dia nggak nyerah, gimanapun juga itu bagian dari jalannya menggapai mimpi.

"Sama kayak pertanyaan lo. Perempuan mengejar gelar itu akan mengalami masa kuliah. Bukan cuma soal dapat nilai bagus, pasti banyak proses yang membikin dia berkembang. Banyak tugas bikin dia lebih bertanggung jawab, dosen yang nggak nyamperin buat nagih tugas kayak guru SMA membuat dia lebih mandiri, pemikirannya bisa lebih terbuka sama masalah yang dia terima dan selesaikan."

Uttam mengambil napas sejenak, memberi jeda pula pada Amanda. "Gue nggak mau menggeneralisir. Setiap orang dengan pilihan mereka akan mengalami kejadian yang pasti berbeda. Cuma, misal pilihan lo ditentang atau tidak disetujui, dalam hal ini lanjut kuliah contohnya. Lo tahu yang terbaik untuk hidup lo. Perkataan orang lain dijadikan masukan dan pertimbangan, bukan pakem pasti, apa yang akan terjadi selanjutnya, adalah keputusan lo."

"Terima kasih pendapatnya, Kak."

Uttam mengangguk. "Sama-sama."

Amanda menyelipkan anak rambut ke telinga, kepalanya terus mengulang kalimat Uttam yang didengarnya. Selama beberapa saat, keduanya hanya menonton Mangi dan yang lainnya bergerak tanpa henti. Amanda dan Uttam berada dalam diam yang nyaman.

Ada sedikit perasaan tidak rela dalam benak Amanda kala dia perlahan berdiri. Sudah waktunya untuk pulang, Amanda berjanji akan membantu ibunya menyusun lembaran-lembaran informasi untuk seminar sang ibu.

"Kak, gue pamit pulang, ya."

Uttam ikut berdiri detik itu juga. "Oh, gue anter ke depan kalo gitu."

"Nggak usah, Kak, aku bawa motor kok hari ini."

"Oke deh, hati-hati."

"Iya, duluan, ya."

Langkah Amanda terasa ringan, seperti melayang.

***

Saya cuma mau bilang, semoga kamu bahagia hari ini dan seterusnya.

See you :)

Utara (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang