Pasangan tentara bayaran muda yang baru saja berhenti dari pekerjaannya memutuskan untuk hidup damai di suatu desa terpencil dekat kerajaan kota Shingahasari. Mereka memutuskan untuk menikah dan hidup damai tanpa dibebani dengan pekerjaan membunuh.
Sang suami menjadi penempa senjata dan istrinya menjadi ibu rumah tangga. Sang suami memang terkenal dengan bakatnya menempa senjata-senjata dan dahulu dia termasuk salah satu ksatria legendaris yang berkategori ksatria kelas S. Sang istri juga terkenal dengan bakatnya menjinakkan War Beast yang sangat sulit dijinakkan oleh penjinak kelas atas, dia juga berkategori ksatria kelas S.
Kemampuan merekapun terkenal dan tentara bayaran merekapun dijuluki "6 Ksatria Pusaka", tetapi mengapa mereka hanya berdua saja?
Bertahun-tahun mereka hidup dengan damai, mereka dikaruniai seorang putra yang mereka beri nama Raya Argani. Bayi berambut cokelat itu membuka matanya untuk pertama kalinya melihat wajah kedua orang tuanya dan menangis dengan kerasnya.
Bayi tersebut tumbuh berkembang menjadi anak kecil laki-laki yang berumur 6 tahun. Anak kecil itu dididik dengan kasih sayang dan juga ketegasan. Sejak kecil ia juga diajari betapa indahnya dunia ini dengan keindahan alamnya dan kejamnya dunia ini dengan adanya peperangan yang tidak mendapatkan kemenangan melainkan hanyalah penderitaan dan kesengsaraan.
##########
Sang ibu terlihat sedang mengangkut berbagai senjata dan barang-barang lain, seperti ingin pergi ketempat yang sangat jauh. Sang ayah yang melihat istrinya di koridor rumah, heran dan bertanya.
" Kau mau pergi kemana?" kata ayah
Ibu terkejut dan tak sengaja menjatuhkan pisau tarung dari tangannya. Ia yang sebelumnya berkemas, kemudian berdiri lalu berhadapan dengan suaminya seraya berkata.
"Aku.... Aku ingin kembali seperti dulu." kata ibu dengan nada lembut
"Maksudmu?..."
Sang ayah menyadari sesuatu lalu, sedikit meninggikan suara, berkata.
" Kau ingin menjadi pembunuh lagi ?!!" kata ayah dengan terkejut
" Tidak, bukan itu."
" Lalu apa?" ayah bertanya
Ibu terdiam, seolah sulit untuk mengungkapkan keinginannya. Setelah cukup lama iapun memberanikan diri menjawab.
" Aku ingin kembali seperti dulu dengan mereka, kita dulu saling tertawa bersama, sedih bersama dan kadang kita berkelahi dengan alasan yang tidak jelas. Aku ingin menjaga semua kenangan itu."
"Jadi kau ingin pergi kesana dan menjaga mereka?"
Ibu mengangkuk pelan.
" Ya, bolehkah kau mengizinkanku untuk pergi agar diriku tenang dalam perjalanan? dan ....." kata ibu terhenti disaat terakhir
" Dan?"
" Dan..... bolehkah kau tidak perlu ikut dan tetap disini bersama Raya?" kata ibu memohon
Raya tiba berada di samping lemari, berjalan menuju orangtuanya mengusap kedua matanya lalu bertanya sambil menguap.
" (menguap)..... eeehh, bunda mau pergi kemana?"
Ibu dan ayah terkejut karena biasanya Raya tidak bangun sepagi ini.
" Oh Raya, tumben sekali sekali kau bangun pagi sepagi ini, anak bunda pintar" kata ibu sambil mengusap kepala Raya, ibu berusaha untuk tidak menjawab pertanyaan Raya dan berusaha mengubah topik pembicaraan.
" Bunda mau kemana?" kata Raya bertanya sekali lagi
" Apa Raya lapar? Mau bunda buatkan sarapan?" ibu berusaha keras untuk mengubah topik pembicaraannya.
Raya bertanya dengan keras dengan air mata mulai menetes dari matanya.
Sang ibu tidak tega melihatnya menangis dan hatinya terasa sangat sedih bila mejawab pertanyaan anaknya akan tetapi...
" Jawab saja pertanyaan anakmu, Raya sudah bukan lagi anak kecil" kata ayah.
Sang ibu tidak punya pilihan lagi selain menjawab pertanyaan anaknya dan menjawabnya dengan nada rendah.
" Bu.. bunda mau pergi ketempat yang sangat jauh"
" Apa Raya boleh ikut?" kata Raya sambil memohon.
" Tidak boleh, Raya disini sajanya jaga ayah." kata sang ibu
" Pokoknya Raya mau ikut !!!" dengan keras Raya menjawab.
ibu terdiam sebentar, beberapa waktu berselang ibu mengatakan.
" Baiklah, jika Raya mau ikut, kita semua sarapan dulu, oke?"
Raya mengusap kedua matanya seraya berkata.
" Okee! Tapi bunda janjinya setelah sarapan Raya boleh ikut" kata Raya sambil tertawa dan tersenyum lebar.
" Iya, bunda janji." kata ibu berjanji.
Satu keluarga itu sarapan seperti biasanya, suasananya meriah penuh dengan tawa dan candaan dan juga kebahagian juga terpancar dari keluarga tersebut, seperti mereka melupakan masalah yang tadi baru terjadi. Ayah dan ibu itu melihat Raya yang tertidur di meja makan tak lama setelah sarapan tadi.
" Sepertinya Raya tertidur kekeyangannya. Huhh... ini masih pagi kenapa sudah makan sebanyak ini." kata ayah
Ibu hanya tersenyum kecil tanpa mengatakan apapun.
" Jadi apa kau masih ingin berniat pergi?" kata ayah bertanya kembali.
" Ya, sebenarnya aku menambahi ramuan tidur pada makanan Raya agar dia tertidur pulas." Kata ibu.
Sang ayah terkejut setelah itu diam sejenak lalu berkata.
" Jadi, kau tetap ingin pergi sendiri tanpa membawa Raya, padahal kau bukan orang yang suka mengingkari janji." kata ayah.
" Yaa, maafkan aku, aku tidak mau Raya ikut denganku dalam perjalanan yang berbahaya ini." kata sang ibu mendekati Raya sambil melihatnya yang sedang tertidur.
" Jadi bolehkah aku meminta izin untuk pergi kesana? Dan bolehkah kau tetap disini menjaga Raya sampai dia tumbuh dewasa?" kata ibu memohon.
Sang ayah berpikir sejenak sambil memegang dagunya. Ia sejujurnya tidak setuju dengan keputusan sang ibu yang berniat untuk pergi dari dirinya dan juga putranya. Iapun meletakkan tangannya kembali seperti telah memantapkan jiwa setelah itu ia berkata.
" Baiklah, aku akan mengizinkanmu untuk pergi dan aku juga berjanji akan menjaga, mendidik dan merawat Raya sampai dia tumbuh dewasa."ayah berjanji.
Ibu yang sebelumnya bahunya menegang menjadi rileks, hembusan nafas menghentikan rasa cemas itu lenyap.
" Terima kasih banyak." kata ibu lega.
Pagi itu terlihat mendung dan sedikit demi sedikit hujan mulai bercucuran. Sang ibu membawa tas dan menyarung pedangnya sambil melihat suami dan anaknya yang sedang digendong. Sang ibu pergi ke arah Raya dan memberikannya kecupan didahi Raya dan berbisik ke telinganya.
" Psst... tidur yang nyenyak ya, bunda berharap bahwa kamu akan memiliki impian yang akan membuat dunia ini menjadi dunia yang dimana tidak ada lagi namanya peperangan dan juga penderitaan, cepat besarnya anakku."
" kalau kita mengulangi sebuah perkataan terus menerus, mungkin itu benar-benar akan terwujud nanti. Semoga bunda bisa melihat mu besar nanti."
" Maafkan bunda karena tidak bisa melihatmu tumbuh dan berkembang, dan juga tidak bisa memberimu kasih sayang seorang ibu saat kau membutuhkannya. Bunda mungkin akan menyesal telah meninggalkan mu bersama ayahmu, semoga kau bisa memaafkan ibu." kata sang ibu sambil merintihkan air mata.
Sang ibu pamit kepada suaminya dan menuggangi kuda dan perlahan mulai menjauh sampai akhirnya tidak terlihat lagi. Sambil menunggangi kudanya aliran mata mengalir deras dari matanya, ibu lalu ia memegang dadanya erat-erat.
"Aku mencintaimu, Cakra.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Yuwaraja
Historical FictionTanah Mayapada terbakar dalam bubuk peperangan. Rawa darah merah berbau menyengat ditanah luhur Mayapada. Dendam berlayar dengan sangat cepat. Putra bangsa mengangkat senjata mereka, memecah tanah dan membantai semua lawan dihadapan mereka. Pepe...