12.5 - The Great Paxley [BACKGROUND STORY OF PAXLEY FAMILY]

1K 92 98
                                    

Siang ini begitu kelam, tak seorang pun yang berani tersenyum atas kepergian sang pahlawan kecil berambut cokelat itu.

Langit pun turut bersedih, menangis membasahi bumi yang sebentar lagi akan menelan jasad sang pahlawan.

Gusion Paxley.

Itulah nama sang pahlawan, pengorbanannya berhasil membongkar dalang dibalik hilangnya anak-anak yang terjadi di rumah kosong yang katanya angker itu.

Roger Wolf.

Dialah pelaku penculikan itu, dia orang tidak waras yang sering melakukan pembedahan. Mengambil organ-organ tubuh anak-anak dan balita lalu dijual ke beberapa rumah sakit dengan oknum-oknum bejat yang bekerja di dalamnya.

Orang gila ini cukup pintar menutupi jejak kejahatannya hingga orang-orang percaya bahwa rumah itu sangatlah angker.

Namun berkat keberanian Gusion yang nekat masuk ke sana, semua itu terbongkar, walau nyawa Gusion sebagai ganjarannya.

Dari jauh arwah Gusion hanya bisa menatap sendu saat jasadnya mulai dipendam jauh ke dalam bumi. Walau usianya masih 10 tahun, ia mengerti bahwa kini ia sudah mati, dan arwahnya hidup sebagai arwah penasaran tanpa tujuan mungkin.

Ia menatap benci belati di tangan kanannya yang sempat merenggut nyawanya itu. Namun mengapa belati itu tak bisa lepas dari tangannya? Ia sudah mencoba membuangnya berkali-kali namun lagi-lagi belati itu mendekat ke tangannya seakan seperti ada magnet di tangan kanan Gusion.

Hujan menjadi kian deras saat raga Gusion sudah tertutup rapat oleh tanah. Orang-orang yang menghadiri pemakaman itu pun mulai membubarkan diri sambil berteduh di bawah payung hitam mereka. Tanpa sengaja matanya bertemu dengan sepupunya --Claude-- yang berdiri beberapa meter di sana. Claude sedikit mematung melihat arwah Gusion yang sedang berdiri di bawah pohon kamboja, bahkan ia sampai menjatuhkan boneka monyet yang dibawanya.

Melihat reaksi Claude, Gusion tersenyum lalu melambaikan tangan seakan ia mengucapkan selamat tinggal kepada sepupunya yang lebih muda dua tahun darinya itu. Ia mendengar Claude menangis sendu menyebut namanya di sana, namun tak mungkin ia kembali ke sana, bukan?

Gusion pun berjalan meninggalkan pohon kamboja yang menjadi tempat teduhnya di siang yang kelam itu. Ia menundukkan kepalanya bersedih, "Maaf semuanya, aku gak bisa jaga diri," pilunya.

"Hey Paxley kecil."

Gusion langsung mengangkat kepalanya saat mendengar sebuah suara lembut itu seperti menyapanya. Iris abu-abunya menangkap visual seorang wanita cantik berambut cokelat, berbaju putih dengan corak-corak hitam yang mempercantik penampilannya, sayap putih membentang lebar di punggungnya.

Apa itu yang disebut malaikat maut? Atau seorang bidadari yang akan menjemputnya ke surga? Tapi tunggu, ia baru saja menyebut nama marganya, bagaimana ia bisa tahu?

"Tante siapa kok tau nama marga Cion?" Tanya Gusion.

"Emangnya kakak keliatan setua itu ya dipanggil tante?" Wanita itu terkikik.

Melihat paha wanita itu yang sangat terekspos, Gusion segera menutup matanya dengan tangan, "Tutupin dulu paha tante kalo gak mau dipanggil tante."

Ah manisnya. Wanita itu tersenyum lalu menuruti kemauan Gusion dengan sedikit melakukan sihir terhadap bagian roknya, "Maaf ya," ucapnya sambil mengacak-acak rambut Gusion.

Gusion sedikit mengintip memastikan wanita itu tidak berbohong, "Gitu dong kak, Cion kan lega gak liat porno-porno.. Jadi kakak siapa?"

"Nama kakak Alice, salam kenal. Kakak mau jemput Cion buat dateng ke suatu tempat," jawab Alice lalu berjongkok menyamakan tingginya dengan anak manis itu, "Cion mau ikut?"

The Savior [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang