Part 3

1.8K 114 2
                                    

Wei duduk santai sambil menunggu Queen selesai memilih baju.
Sedari satu jam yang lalu ia menyerahkan Queen pada Salsa Yin, seorang desainer terkenal sekaligus teman dekatnya.

Wei tidak mau repot-repot memilihkan baju untuk Queen. Lagi pula, Wei mana mengerti selera seorang gadis. Apalagi dia laki-laki. Jelas saja berbeda. Ya kan?

"Wei, gimana menurutmu?" Ujar Salsa tiba-tiba.

Wei mendongakkan kepala, seketika Wei terpana melihat Queen. Namun dengan cepat ia mengendalikan ekspresinya. "Bagus." Katanya sambil mengangguk.

Salsa mendengus geli, ia berbalik dan mengambil beberapa baju yang di coba Queen tadi lalu menyerahkannya pada karyawan. "Bungkus semuanya."

Queen duduk disamping Wei sembari menunggu karyawan tersebut. Jujur saja ia lelah memilih baju dengan Salsa. Gadis itu tak pernah puas dengan pilihannya. Queen mengusap kakinya yang pegal. Lain kali ia tak mau kesini lagi.
Ia menoleh kearah tuannya yang sibuk memainkan ponsel.

"Kenapa?" Tanya Wei membuat Queen mengerjapkan matanya.

"Saya lapar tuan." Jawab Queen pelan.

Wei mengangguk, sedikit lupa ia belum memberi Queen sarapan. Karena terlalu sibuk memikirkan gadis itu. Setelah mereka selesai membeli baju dari butik, Wei menarik Queen ke cafe terdekat.

"Jangan panggil aku tuan, cukup panggil aku Wei, mengerti?"

Queen ingin protes sebenarnya, tapi setelah melihat wajah garang Wei ia menyurutkan niatnya. "Baik, Wei."

Tersenyum sumringah, Wei mempercepat langkah kakinya. "Kita akan sarapan disana." Tunjuk Wei dengan dagunya.

Queen agak kesulitan mengimbangi langkah Wei yang lebar. Untung saja Queen tidak jadi memilih sepatu hak tinggi tadi. Bisa saja sekarang kakinya sudah lecet.

Setelah mereka masuk kedalam cafe Wei memilih tempat duduk, ia juga memanggil pelayan. Memesan menu sarapan mereka pagi ini.

Wei melirik kantung belanjaan disamping Queen. Salsa memang ratunya shopping. Tapi memang ia harus membelikan Queen baju yang banyak. Karena gadis itu tak mempunyai baju selain baju yang pernah di lukis Wei.

Makanan telah tiba, Wei meminum kopinya dengan khidmat sebelum ia mengernyit tak suka karena melihat Anastasya dan Joshua memasuki cafe yang sama dengannya.
Bibir Wei mencebik kesal, paginya yang indah bersama Queen hancur sudah.
Mendadak Wei kehilangan mood untuk sarapan.

Sedang Queen asyik dengan sarapannya. Ia memandang Wei heran, kenapa tuannya itu berwajah malas. Padahal tadi Wei dengan semangat menyeretnya kemari untuk sarapan.

"Wei, kenapa kau diam saja?" Tanyanya penasaran. Bahkan menu sarapan yang dipesannya belum disentuh sama sekali.

"Tidak apa apa, cepat kau habiskan makananmu. Setelah itu kita pulang." Gumamnya setengah hati.

Bibir Queen mengerucut, dengan cepat ia memakan sarapannya sebelum mood Wei berubah lagi.
Sungguh.. kenapa Wei selalu berubah-ubah setiap waktunya? Ini membuat Queen bingung. Bagaimana sikap Wei yang sebenarnya.

Sarapan tenang Queen sedikit terganggu dengan adanya Anastasya yang menghampiri meja mereka.
Mata bulatnya melirik Wei, ekspresi pria itu terlihat dingin dan tak bersahabat.

"Wah wah.. lihat sayang, pria miskin ini sedang sarapan di cafe termahal dikota ini." Sindir Anastasya.

Joshua terkekeh mendengar kekasihnya mengejek mantan kekasihnya sendiri. Sungguh ironi.
"Sayang, apa kau percaya dia punya uang?"

Anastasya mengerutkan dahinya, "Entahlah, sepertinya aku tidak percaya. Memang kenapa kau bertanya begitu honey?"

"Aku hanya heran saja, jika dia memang pria miskin. Kenapa dia berani sekali memasuki tempat mahal begini?"

The Devil In The Painting [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang