01.

1.9K 167 22
                                    

"Sowon! Ayo makan siang bersama!" Aku menengadahkan kepalaku dan melihat Yerin sahabatku tersenyum sambil memegang kotak bekal berwarna merah muda miliknya.

"Boleh," ujarku dan langsung mengambil bekal makan siangku.

"Wah... lagi-lagi kau hanya makan roti Minimarket. Cobalah makan sesuatu yang bergizi!" Ia kemudian memberikan sebagian nasi dan lauknya padaku.

"Tidak, tidak... roti saja sudah cukup untukku." Aku mengembalikan nasi yang diberikannya, tetapi ia menolak dan terus memaksaku untuk memakannya. Aku tidak suka mengalah, tetapi untuk makanan, apa yang tidak mungkin? Jadi, aku menerimanya.

"Khau huhah hengar? Hahanya hakan hada huhid haaru hi helas hini." Ujarnya sambil mengunyah makanannya, aku sedikit tidak mengerti apa yang di ucapkannya.

"Hah?" Aku benar-benar tidak paham apa yang dikatakannya. Ia menelan makanannya dan mengatakan kembali apa yang dikatakannya sebelumnya.

"Ooh... murid baru, kenapa memangnya?" Tanyaku dan jujur aku tidak peduli.

"Katanya dia adalah anak seorang pengusaha dan dipanggil Tuan Muda di sekolahnya sebelumnya." Yerin menjelaskan dengan mata berbinar, aku menjadi takut karenanya.

"Lalu, kenapa dia pindah?" tanyaku, lagi.

"Entahlah, katanya ia ingin bersekolah di Sekolah Negeri dan ingin berteman dengan cara normal." Yerin mengangkat kedua bahunya.

"Berlebihan sekali." Aku memutar bola mataku malas. Mendengar latar belakangnya saja membuatku ingin menguap lebar dan sekali lagi, aku tidak peduli.

Tidak lama, bel masuk kembali berbunyi dan pelajaran dimulai kembali...

"Maaf saya terlambat, mungkin kalian semua sudah mengetahuinya, tetapi biar Ibu sampaikan kembali... hari ini kita kedatangan teman baru. Baiklah, em... Tuan Kim, silahkan masuk."

Pintu dibuka dan menampilkan sosok pria dengan tubuh tinggi dan menampilkan kaki-kakinya yang panjang. Tulang rahangnya lebar, matanya sayu dan tatapan matanya dingin. Bibirnya tidak tebal, tidak juga tipis, sama sekali tidak ramah, bahkan aku dapat merasakan tatapan merendahkan dari sorot matanya, maka aku memalingkan wajahku.

"Ee... silahkan, perkenalkan diri anda...." Bahkan guru dibuatnya gugup dengan auranya. Baru kali ini aku melihat Bu Sunny gugup seperti itu.

"...namaku Kim Taehyung. Mohon bantuannya." Ujarnya, suaranya rendah dan sangat berat. Terjadi keheningan. Kami semua, kecuali aku dan Seongwoo--yang sedang tertidur di depanku--menatapnya.

"Apa ada lagi yang ingin anda katakan? K-kalau tidak...." Bu Sunny mengalihkan pandangannya ke arah kami semua. Pria bernama Kim Taehyung itu hanya perlu menatapnya sedetik dan nyali Bu Sunny ciut seketika.

"Baiklah, T-Taehyung... kau bisa memilih kursi sesukamu." Bu Sunny mempersilahkannya duduk. Bahkan mempersilahkannya memilih kursi sesukanya, bangku di sebelahku kosong, tetapi tidak ada kemungkinan ia bakal duduk di urutan paling belakang. Di sebelah jendela sudah jadi milikku!

Ternyata dugaanku benar, ia tidak duduk di tempat ku, melainkan di kursi sebelahku. Entah apa yang dipikirkan orang kaya satu ini. Saat menoleh, kebetulan kami bertemu pandang dan aku melemparkan senyum singkat padanya dan kembali fokus menghadap papan tulis.

"Oi...." ujarnya. Aku masih memperhatikan papan tulis.

"Oi, kau." Lagi-lagi ia memanggil seseorang, tetapi aku merasa ia sedang menatapku? Perasaanku saja? Baiklah.

"Oi, kau yang memiliki rambut pirang." Panggilnya lagi, aku menoleh ke depan, Ong memiliki rambut hitam di kepalanya. Aku menatap buku catatanku dan kembali menulis.

"Kau!" Ia menarik pergelangan tanganku dan membuatku hampir berteriak karena terkejut.

"Aku bicara denganmu! Kau sengaja mengabaikan ku, hah?!" Ia mengencangkan cengkramannya. Aku meringis kesakitan.

"Apa-apaan kau?! Lepaskan aku!" Aku sedikit berteriak sehingga membuat seisi kelas menoleh ke arah kami.

"Sowon, Taehyung, sekarang sedang jam pelajaran, bisakah kalian berdua melakukan itu setelah pelajaran?" Tegur Bu Sunny, aku melirik ke arah tatapan teman-teman ku, ia juga melakukan hal yang sama dan langsung melepaskan tangannya.

"Dengar, aku berbicara denganmu!" Ucapnya setengah berbisik, aku menoleh menatapnya kesal.

"Sebelumnya kau memalingkan wajahmu, lalu kau tersenyum meremehkanku, dan tadi kau tidak menghiraukan panggilanku. Sebenarnya apa masalahmu denganku, hah?" Ia menatapku tajam, aku tidak mengerti apa maksud ucapannya.

"Maaf, tapi apa maksudmu?" tanyaku tanpa sadar melihatkan wajah kesalku.

"Dan sekarang... kau pura-pura bodoh rupanya." Ia melipat kedua tangannya di depan dada.

Aku benar-benar kesal sekarang. "Dengar, Tuan Muda... hamba tidak mengerti maksud anda karena hamba hanyalah seorang gadis biasa yang bodoh." Aku mengucapkannya tanpa sadar, itulah aku, emosi yang mengendalikan pikiranku.

Uwah, sepertinya aku sudah menarik pelatuk, wajahnya sangat kesal dan berubah merah sekarang.

"Kau mengejekku? Dengar, perempuan... aku tidak tahu apa masalahmu, tapi jaga ucapanmu atau kau akan ku hancurkan." Ia menatapku dengan tatapan ingin membunuhnya, aku benar-benar emosi sekarang.

"Dengar, kau yang menyimpulkan semuanya seenaknya, pertama aku memang memalingkan wajahku karena sebuah cahaya mengenai wajahku, kedua, aku sedang tersenyum padamu karena kebetulan kita beradu pandang, dan terakhir... aku pikir bukan diriku yang kau panggil. Mengerti?" Aku mengucapkan semuanya sepelan mungkin agar hanya ia yang mendengarnya.

"Hah! Pembohong, aku sudah mengenal orang-orang sepertimu. Kau hanya iri dengan status dan kekayaanku, akui saja." Ia memalingkan wajahnya sambil tersenyum remeh padaku. Aku sudah terlanjur kesal dan memukul mejaku dengan kepalan tanganku.

"Dengar, aku tidak tahu masalahmu apa, tapi imajinasi gilamu yang menganggap semua hal gila yang baru saja kau ucapkan padaku!" Teriakku, sekali lagi seisi kelas memangdangku, aku tidak peduli.

"Hmph! Aku sudah sering bertemu orang-orang yang iri seperti dirimu, tidak perlu bersikap seolah kau mampu. Akui saja ketidakmampuanmu." Ia melipat kedua tangannya di depan dada.

"Dasar banci yang hanya mengandalkan uang. Semoga kau mati kehabisan uang." Ucapku pelan. Ia melirikku dengan tatapan emosi yang terpancar di kedua matanya.

Ia berdiri dan menarik kerah bajuku, ia menatapku tajam dan aku balik menatapnya sambil mencengkram tangannya yang menarik kerah bajuku.

"Yak... Kim Sowon, Kim Taehyung... kalian berdua berdiri di depan kelas sampai mata pelajaran saya selesai. Apa yang kalian lihat? Sekarang juga keluar!!" Aku dan... pria di sebelahku pergi keluar kelas dan Bu Sunny membanting pintu kelas tepat di belakang kami. Kami berdiri dengan canggung tanpa ingin melirik satu sama lain.

Ia mulai bergerak dan pergi menjauh dari kelas. "Pergi kemana kau?" tanyaku tanpa pikir.

"Kemana saja asal tidak melihatmu." Ujarnya sambil melambaikan tangannya, tanpa menoleh ke arahku.

"Tempat sampah cocok untukmu. Aku juga ingin mencari udara segar yang tidak tercemar olehmu." Aku juga pergi ke arah sebaliknya. Sedetik pun aku tidak menoleh ke arahnya, waktuku terlalu berharga untuk orang-orang sepertinya.

Hari pertama sebelum datangnya bencana dan semuanya sudah seperti neraka setelah kehadiran Kim Taehyung.

.
.
.
.
.


























Kim Sowon.

Stone Head (SLOW UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang