Gue memerhatikan Kakang Ammar dan Mas Biyan tengah mengecat rumah Tante kami, Tante Maya. Ya, kami sedang ada di rumahnya. Setelah diperhatikan, seorang Kakang Ammar yang humornya sangat nyungseb tetapi sebenarnya jika sedang dalam mode serius, ketampanannya naik jadi lebih dari 100%. Begitupun dengan Mas Biyan; meski raut dinginnya masih nampak tetapi tetap tampan.
Iris gue teralihkan ke Tante Maya tiba-tiba datang dari dalam rumah dengan tangannya membawa beberapa cemilan. Ya Tuhan. Gue melirik meja—cemilan itu saja belum habis, masa sudah ditambah lagi?
"Arthur, jangan main HP aja atuh. Cemilannya dimakan," ujar Tante Maya berhasil membuat A Dennis mendongak.
"Tante, ini mah Dennis atuh, bukan Arthur," protes A Dennis yang akhirnya mau melahap cemilan-cemilan yang tadi sempat terabaikan di meja.
Tante Maya terkekeh. “Eh, kirain Arthur, hahaha. Suruh siapa atuh kalian tèh mirip."
"Namanya juga anak kembar atuh, Tan."
"Terus, Arthur kenapa gak ikut? Tumben. Biasanya kemana-mana selalu berdua."
A Dennis mendadak tersenyum jahil. “Pacaran, Tan. Ceweknya banyak dia mah.
"Sama aja kayak Azka, Tan," timbrung gue membuat Tante Maya menoleh. "Udah jarang di rumah. Bahkan sekarang PS jadi nomor dua setelah si pacar."
Tante gue itu menggeleng pelan kemudian mengusap rambut gue dan A Dennis bergantian, "Tante gak rela kalian udah besar lagi."
Perkataan Tante Maya membuat gue tiba-tiba teringat pada Bang Juan yang pernah mengatakan hal yang sama. Saat itu kami sedang mengobrol, hening sesaat, hingga akhirnya dia berceletuk, “Dek, kamu bisa jadi bayi terus gak? Jadi, gak usah gede-gede. Biar bisa Abang peluk terus.”
Dasar. Memangnya gue ini karakter kartun bocah botak dari negera tetangga yang ukurannya segitu-segitu aja, ya.
"Oh, ya." Tante Maya bersuara lagi. "Maaf, ya, gak punya yang dingin-dingin. Kulkas lagi rusak," lanjutnya dengan raut setengah sedih.
"Rusak kenapa, Tan?" tanya gue.
"Gak mau nyala. Mungkin nanti sore mulai dibenerin. Oh, ya, beli es kelapa muda aja, gih." Tante Maya merogoh saku celana kemudian mengeluarkan uang berwarna biru. "Nih. Tau, kan, es kelapa muda di sebrang gang?"
A Dennis bangkit lalu meraih uang itu dengan semangat. “Tau, dong, Tan. Beli berapa, nih?"
"Empat aja buat kamu, Yaya, Kakang, sama Biyan. Tante mah gak usah, Den. Lagi sakit gigi."
Jarak dari rumah ke tempat es kelapa muda sebenarnya tidak jauh, tetapi juga tidak dekat. Kami berjalan melewati beberapa rumah dengan iris menyipit sebab terik matahari menyengat. Gue melirik jam tangan, sudah pukul setengah sebelas. Pantas panas.
Sesampainya di sana gue bersyukur karena sepi. Kami langsung memesan empat bungkus es kelapa muda kemudian mendaratkan diri di bangku yang tersedia. Selanjutnya hening. Gue menatap jalanan, memerhatikan motor berlalu-lalang begitu melesat. Omong-omong tentang motor, gue dan Azka dihadiahi motor dari Om waktu kami ulang tahun ke-18. Tetapi, karena gue tidak bisa dan tidak ada niat belajar mengendarainya, jadi gue memutuskan motor tersebut untuk Azka saja. Bukan apa-apa, gue orangnya memang penakut, sih. Ah, pokoknya gue lebih suka dibonceng.
Tiba-tiba sebuah tangan mendarat di puncak kepala gue lalu mengusapnya lembut berhasil membuat gue menoleh. Senyumannya terpatri di bibir. Dengan iseng gue memukul pelan dada A Dennis membuatnya lantas pura-pura meringis.
"Jadi, gimana?" Akhirnya A Dennis bersuara setelah pura-pura meringis. Gue mengangkat satu alis tanda tidak mengerti. "Itu kado ulang tahun buat Bang Juan sama Bang Edgar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Patah Hati Setengah Komedi
Humor"Bun, semasa remaja Bunda pernah nangis gak?" tanya Azya, lagi makan batagor. Bunda diam sebentar. Nampak mengingat-ingat sesuatu. Seulas senyum lantas terlukis di bibirnya, beliau menjawab, "Pernah. Bunda suka." Kening Azya berkerut tak mengerti. B...