Selamat Jalan Pt. 3

805 107 15
                                    

Dennis menyesal. Perkelahiannya dengan Kananta tempo hari menyebabkan masalah lain—mereka mengundurkan diri dari lomba.

Tidak mungkin di sisa dua minggu terakhir mereka bisa merubah koreografi karena jumlah anggota berkurang satu. Dennis masih ingat raut Pelatih sangat marah tercetak jelas. Sorot matanya menunjukkan kekecewaan. Jika membahas tentang kecewa, Dennis juga merasakan itu. Sangat teramat dalam. Kecewa yang ditujukkan kepada dirinya sendiri.

Dennis pun masih ingat tatapan dingin Abil dan Kamil. Ketika mereka sama-sama keluar dari ruang latihan setelah berdiskusi memutuskan mengundurkan diri, Abil dan Kamil tidak mengatakan apa-apa. Mereka marah. Dennis jelas tahu itu.

Hari dimana seharusnya dia bersama ketiga temannya berada di atas panggung, menunjukkan penampilan terbaik, membuat sekolahnya bangga dengan bakat yang mereka miliki, serta bisa menunjukkan pada Ayah bahwa hobinya itu tidak seburuk yang beliau pikirkan, tetapi kenyataannya Dennis hanya bisa meringkuk di kasur. Kedua irisnya menatap lurus ke tembok, pikirannya berkecamuk, dan sesekali menghela napas berat. Sangat berat.

Selepas sarapan bersama tadi pagi, Dennis memutuskan kembali ke kamar. Kakak dan adiknya memintanya tetap tinggal di bawah, mengajaknya bermain atau sekedar mengobrol, tetapi Dennis menolak dengan senyuman tipis.

Dennis memejamkan mata sebentar. Sekelebat kejadian perkelahiannya dengan Kananta mampir di ingatan. Dia tidak tahu bagaimana kabar Kananta sekarang. Besoknya, setelah insiden itu, Dennis tak pernah lagi melihat keberadaan sahabatnya itu.

Terdengar suara pintu terbuka tak membuat Dennis berbalik badan ingin mengetahui siapa orang itu. Mungkin kembarannya atau kakaknya, tebaknya. Namun, rupanya ia salah. Suara berat familiar memanggil namanya dengan langkah semakin mendekat. Akan tetapi tetap—Dennis tak merubah posisinya.

Ayah menghela napas pelan sebelum mendudukkan diri di tepi kasur. Mendapatkan anaknya tak merespon sedikit pun, tangannya pun bergerak menepuk pelan bahu Dennis.

"Ada apa, Yah?" tanya Dennis tanpa menoleh sedikit pun.

"Gak apa-apa gak jadi lomba sekarang. Masih ada lomba di lain hari," ujar pria paruh baya itu menatap lembut punggung Dennis—berharap anaknya itu mau menghadap padanya.

Tak harus menunggu lama akhirnya Dennis berbalik badan. Matanya mengerjap, menatap Ayah dengan tatapan tak percaya. Beberapa detik kemudian bibirnya dibuka dengan suara pelan tetapi masih bisa terdengar, "Ayah tau kalau seharusnya hari ini—"

"Arthur yang kasih tau Ayah," potong Ayah cepat. "Dia cerita semuanya," lanjutnya.

"Termasuk cerita tentang Aa berantem sama Kananta?"

"Bukannya itu akar permasalahannya?" sahut Ayah membuat sorot mata Dennis meredup. Rasa bersalah semakin menyergap dirinya. Iris Ayah sedikit melebar kendati menyadari apa yang dikatakannya barusan. "Dennis, maksud Ayah." Beliau kembali berujar, tak ingin membuat anaknya semakin sedih. "Ayah tau kalian berteman dekat. Jadi, kenapa masalahnya gak diberesin baik-baik? Ngobrol atuh ngobrol."

"Mau ngobrol gimana, Yah. Kananta udah gak pernah kelihatan lagi di sekolah," sahut Dennis dengan wajah ditekuk dalam.

"Kenapa? Dia sakit?"

Dennis menggedikan bahu tanda tidak tahu.

"Datang ke rumahnya," usul Ayah. Dennis menggigit bibir dalam tak yakin. "Mau Ayah temenin?"

Bandung begitu panas. Membuat beberapa orang enggan pergi keluar, lebih memilih memdekam di rumah. Beberapa kali Dennis mengusap paha yang terbalut celana jeans guna mengusir rasa panas di tengah-tengah kemacetan. Sesekali menatap punggung Ayah yang sedang memboncengnya. Dengan segala pertimbangan akhirnya dia menerima tawaran Ayah.

Patah Hati Setengah KomediTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang