"Dimana?"
Suara di sebrang sana. Berat dan dingin. Terdengar seperti marah padahal tidak-mungkin.
"Aku baru bisa pulang, Mas. Hujan ini, gak ada angkot yang lewat daritadi," jawab gue.
"Sekarang dimana?"
"Di depan toko helm. Yang dekat sekolah itu, lho, Mas."
"Tunggu, jangan kemana-mana. Mas jemput," katanya lalu memutuskan sambungan telepon.
Di depan toko kecil yang sudah tutup, gue berteduh. Hujan sejak tadi tak kunjung reda. Gue mengeratkan jaket agar tak terlalu kedinginan. Bersyukur gue selalu bawa jaket setiap pergi ke sekolah.
Gue melirik jam tangan, sudah pukul lima sore lewat limabelas menit. Tugas kelompok menahan gue untuk tidak pulang lebih awal. Gue baru bisa pulang jam lima sore. Berteduh disini, di depan toko helm, sambil menunggu angkot lewat. Mau minta jemput pun percuma. Kakang Ammar pasti sibuk di kafe, Bang Juan pergi kerja, sementara yang lain gak punya kendaraan. Namun, beruntungnya Mas Biyan mau menjemput. Ya, yang tadi menelepon itu Mas Biyan. Dan bisa gue tebak kalau dia juga baru pulang kerja.
Selang limabelas menit akhirnya Mas Biyan datang dengan mobilnya, gue segera masuk dan duduk di kursi depan sebelah kiri. Aura dingin wajah Mas Biyan tercetak jelas meski guratan-guratan di wajahnya menunjukkan capek. Mas Biyan langsung menancap gas, menerjang air hujan, dan melesat sempurna untungnya sore itu tidak macet.
"Kenapa baru pulang?" tanyanya membuat gue sontak menoleh. Agak kaget.
"Ada tugas kelompok," jawab gue kemudian teringat tugas kelompok yang sebenarnya belum selesai padahal tadi sudah berkutat mengerjakannya selama 3 jam. Gila. "Susah banget, Mas."
"Gak akan susah kalau kamu kerjainnya serius," ujar lelaki yang sedang fokus menyetir itu.
Gue cemberut, mengerecutkan bibir. Imut. Kalau dilihat dari sedotan.
"Memang aku kerjainnya gak serius?"
"Pasti kebanyakan ngobrol." Mas Biyan terkekeh. Wow. Cukup tersindir, sih.
Berisiknya air hujan membasahi bumi tak dapat mengalahkan berisiknya suasana rumah. Di ruang tengah ada Aa Arthur dan Azka sedang main Play Station. Harusnya di tengah-tengah ada meja, tetapi ketika sedang main Play Station kemudian meja akan dipindahkan ke dekat tembok lalu digelarkan karpet.
Tepat di belakang mereka, ada dua makhluk ganteng yang lain tengah asyik bermain-main dengan Luci. Nampak si kucing gemas itu juga seperti bahagia diperebutkan mereka. Kadang Luci berlari kesana-kemari enggan memihak keduanya. Kadang juga meloncat ke dalam kardus. Aa Dennis menggeser kardus yang Luci masuki untuk mendekat ke arahnya, mengusap kepala Luci begitu sayang.
"Dek, ganti baju dulu," kata Mas Biyan menghentikan langkah gue yang hendak menuju ruang tengah.
Gue cengengesan. "Hehehe, nanti, Mas. Sebentar lagi."
Mas Biyan mengangguk kemudian berjalan ke kamarnya.
Gue mendudukkan diri di sofa, memerhatikan Bang Edgar dan Aa Dennis yang masih betah bermain dengan Luci dan seperti tidak menyadari keberadaan gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Patah Hati Setengah Komedi
Humor"Bun, semasa remaja Bunda pernah nangis gak?" tanya Azya, lagi makan batagor. Bunda diam sebentar. Nampak mengingat-ingat sesuatu. Seulas senyum lantas terlukis di bibirnya, beliau menjawab, "Pernah. Bunda suka." Kening Azya berkerut tak mengerti. B...