Lima jam telah kami lewati. Selama di perjalanan gue memandang ke luar lewat jendela, menatap jalanan, dan sesekali memainkan ponsel. Mendapat pesan dari Bunda atau Ayah yang menanyakan apakah kami sudah sampai. Ada terselip pesan Azka yang bukannya mendoakan kami agar selamat, melainkan sibuk memikirkan oleh-oleh.
Mobil Mas Biyan ditepikan di depan rumah bercat biru muda. Meskipun tak besar tetapi dari luar cukup bagus. Tepat kami sama-sama keluar dari mobil, pintu rumah terbuka dan keluarlah sepasang suami-istri. Mereka menyambut Mas Biyan dengan ramah. Gue dan Bang Edgar hanya bisa tersenyum-senyum.
"Kagok pisan, Yan.(55) Padahal ajak semua atuh," kata si lelaki pemilik rumah.
Mas Biyan tersenyum tipis. “Engke nu aya ngagandengan.(56)” Kemudian menunjuk Bang Edgar dan gue sambil berkata, "Ini Edgar dan Yaya. Anak ketiga dan si bungsu."
Gue dan Bang Edgar menyalami mereka, berkenalan, lalu mengobrol sesaat kami dipersilahkan masuk. Namanya Kak Adi dan Kak Sarah. Kak Adi ini kakak kelas sekaligus senior ekstrakurikuler sewaktu SMA. Setelah menikahi Kak Sarah yang merupakan orang Bogor, dia pun memutuskan pindah ke Bogor dan membeli rumah ini.
Tas kami diletakkan di dekat lemari baju. Kamarnya tidak luas. Bagus. Karena gue sendiri malah takut kalau tidur di kamar yang terlalu luas. Gue diam di tepi kasur, mendengar obrolan kedua kakak gue dan Kak Adi di ruang tamu.
"Dek?"
Gue refleks mendongak mendengar suara perempuan dari arah pintu. Di sana ada Kak Sarah tengah tersenyum manis.
"Makan, yuk? Udah Kak Sarah siapain," katanya lembut.
Ternyata Kak Sarah jago masakㅡbeda jauh dengan gue. Selanjutnya kami mengobrol tentang makanan kesukaan dan masakan apa yang paling mudah dimasak. Tentu saja, pilihan gue jatuh di memasak mie. Hanya itu satu-satunya bakat yang gue miliki.
"Kalian masih sekolah?" Kak Sarah masih lanjut bertanya di tengah-tengah melahap makan.
"Edgar mah kuliah, mau semester 3. Kalau Yaya nanti bulan depan baru mau masuk SMA," jawab Bang Edgar diakhiri senyuman yang menampakkan lesung pipinya.
Kak Sarah melirik gue. "Lanjut ke SMA mana, Ya? Disini aja, yuk? Biar rumah Kak Sarah gak sepi."
"Mau, sih, Kak, kalau Bunda izinin. Soalnya pergi ke rumah temen lama-lama aja masih suka dicariin," sahut gue agak curhat.
Terdengar kekehan Mas Biyan. "Itu artinya Bunda sayang kamu,” ujarnya.
"Bang Juan pergi malam-malam gak apa-apa, kok aku gak boleh."
"Kalau Kak Adi, nih." Kak Adi ikut membuka suara membuat gue menoleh ke arahnya. Tatapannya begitu serius sesaat melanjutkan, "Punya anak perempuan, pasti bakal kayak Bunda kamu. Sebelum jam 6 sore harus udah ada di rumah. Bukan kenapa-napa, Ya, tapi sekarang bahaya ada dimana-mana."
"Bukan juga membedakan cewek atau cowok. Bahaya gak pernah pandang gender. Lebih baik mencegah lebih dulu. Lagian, Juan pergi malam-malam itu buat kerja, dodol," tambah Mas Biyan membuat gue cemberut.
"Ini di Bogor! Bukan di Garut! Jangan bawa dodol-dodol!” desis gue membuat yang lain menggelak tawa.
Kami melanjutkan menikmati makan. Kak Sarah mengatakan baru kali ini masakannya bisa langsung habis dalam sekali jam makan. Selesai makan, gue membantu Kak Sarah mencuci piring. Dari arah belakang gue mendengar Kak Adi mengatakan akan membawa kami ke suatu tempat yang sering dikunjungi banyak orang.
✨✨✨
Tak lain dan tak bukan adalah Kebun Raya Bogor. Ini pertama kalinya gue pergi ke sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Patah Hati Setengah Komedi
Humor"Bun, semasa remaja Bunda pernah nangis gak?" tanya Azya, lagi makan batagor. Bunda diam sebentar. Nampak mengingat-ingat sesuatu. Seulas senyum lantas terlukis di bibirnya, beliau menjawab, "Pernah. Bunda suka." Kening Azya berkerut tak mengerti. B...