Tidak Patah Hati Pt. 2

685 68 9
                                    

Ken pernah bilang ke gue bahwa dia kenal akrab dengan wali kelasnya, Bu Nindya. Katanya, itu salah satu cara biar tetap semangat pergi ke sekolah. Sejujurnya gue setuju. Gue pribadi kalau senang dengan gurunya, pasti otomatis suka dengan pelajaran yang beliau ajari.

Namun, itu gak berlaku untuk Kimia dan Fisika.

Sebab itulah ketika gue sedang fokus mendengarkan apa yang wali kelas gue jelaskan, pelajaran Biologi, tiba-tiba Bu Nindya datang ke kelas dan meminta gue mengikutinya. Hal pertama yang muncul di otak gue adalah Ken.

"Kamu tau, Bu Nindya tau kita pacaran," kata Ken saat hubungan kami baru menginjak seminggu. Gue kesal; ya, kenapa harus diceritakan segala ke Bu Nindya, sih? Ken pun melanjutkan, "Eh, Bu Nindya gak percaya. Katanya ada juga, ya, yang mau sama aku."

Gue mau tertawa tetapi tidak tega.

Sekolah terasa sepi karena jam pelajaran sudah berlangsung sejak tigapuluh menit lalu. Langkah gue semakin dekat menuju kelas IPA 6. Sudah gue duga pasti gue akan dibawa ke kelasnya. Gue sempat diam di ambang pintu, gak berani masuk ke dalam ketika melihat Ken berdiri tepat di depan kelas. Bu Nindya sudah pergi ke mejanya, duduk di bangkunya, kemudian menyuruh gue masuk.

Semua pasang mata tertuju ke gue saat memasuki kelas. Lo tau gak, sih, bagaimana rasanya jadi pusat perhatian orang-orang sekelas? Apalagi ini kelas orang lain. Deg-degan, gugup, canggung. Campur aduk.

"Azya, bisa menjelaskan yang di papan tulis?" kata Bu Nindya.

Gue kaget, langsung mengarahkan pandangan ke papan tulis. Banyak angka tertulis di sana, tapi yang jelas bukan nomor WhatsApp si doi, ya. Eh, sebentar ... kayaknya ini pernah dibahas kemarin?

Bu Nindya kembali bersuara, "Materi ini sudah Ibu jelaskan di kelas kamu kemarin. Mungkin kamu masih ingat, silahkan coba jelaskan." Kemudian beliau melirik Ken sebentar yang masih betah berdiri dengan kepala menunduk. "Cukup dijelaskan ke Kensastra saja."

Seisi kelas langsung heboh.

"CIE! CIEEE!"

"PIWIIIIT!"

"AH, MANTAP!"

Lebih parah yang duduk paling ujung teriak, "KAPAN KAWIN?!"

Gue meneguk ludah, mendadak haus. Tangan gue gemataran ketika mendekat ke papan tulis, berdiri tepat di samping Ken yang sesaat kemudian pacar gue itu mendongak, menatap gue dengan tatapan datar.

Selepas kejadian di rumah Ken tempo hari itu kami gak pernah mengobrol lagi. Ken gak balas pesan gue sejak dua hari lalu. Jadi, sekarang kami berdiri bersampingan di depan kelasnya adalah pertama kalinya gue bertemu lagi dengan Ken setelah dia menghindar terus.

Matematika itu tidak menyeramkan, sebenarnya. Gue merasakan itu karena Bu Nindya. Beliau selalu menjelaskan materi dengan santai yang langsung berhasil menempel di otak. Maklum, otak gue memang lambat kayak keong, maka dari itu segala sesuatu harus pelan-pelan. Selama gue menjelaskan, Ken bukannya melihat ke papan tulis, melainkan dia terus menatap gue sampai akhir. Gue gugup setengah mati tetapi berusaha ditahan. Gue tidak mau terkena ambekan Bu Nindya.

"Kamu tau kenapa Ibu suruh kamu yang menjelaskan?" Beliau bertanya setelah gue selesai menjelaskan ke Ken. Gue menoleh, diam, menunggu beliau yang langsung melanjutkan, "Daritadi Kensastra melamun terus. Ibu mah tau pisan gimana remaja jaman sekarang. Kalau dijelaskan sama pacar, pasti bakal langsung ngerti."

Sontak riuh "cie cie cie" seisi kelas terdengar lagi.

Gue hanya tersenyum kikuk, tidak tahu harus bersikap bagaimana. Diam-diam melirik Ken yang rupanya dia juga tengah menatap gue—gue langsung mengalihkan pandangan, rasanya ada sesak-sesaknya. Ada rindu semakin menggebu yang belum tersampaikan.

Patah Hati Setengah KomediTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang