Setelah mendengar cerita Mas Biyan, gue jadi teringat kenangan sendiri.
Terkadang gue iri ke orang-orang yang punya kenangan di kota bukan asalnya. Misalkan, ketika ada yang bertanya apa yang kamu rindukan dari Bandung. Bukan tentang Pak Ridwan Kamil, bukan juga tentang Dago Pakar, tetapi sebagian dari mereka yang bukan berasal dari Bandung rame-rame menjawab si doi.
Namun, sebenarnya kenangan itu bisa dibuat kapan, dengan siapa, dan dimana saja. Tidak apa-apa bukan di Jogja atau Malang, setidaknya di Bandung itu sendiri gue pernah mengukir kenangan dengan seorang lelaki yang setiap kali gue harus berjinjit ketika ingin mengusap rambutnya. Yang berhasil membuat gue tersenyum sejak pertemuan pertama.
Ya Tuhan. Oke, stop. Budak cinta sekali.
Ini bukan sinetron yang bertemu, tabrakan, musuhan, baikan, lalu jadian. Bukan juga tentang bertemu, bareng-bareng ambil buku, tatap-tatapan, kemudian jatuh cinta kemudian berakhir lamaran.
Jam istirahat telah selesai dan disambung pelajaran PPKN. Sudah lebih dari limabelas menit tetapi Pak Bambang belum juga datang. Padahal waktu istirahat tadi gue rela-rela gak jajan karena mengerjakan PR PPKN yang belum selesai. Gue tebak ketika nanti datang, Pak Bambang pasti lupa dengan tugas yang sudah beliau beri. Gue yakin di setiap sekolah pasti ada guru yang begitu. Dan, kampretnya, muridnya gak pernah ada yang mengingatkan. Terkutuklah kalian.
Gue buru-buru pergi ke kantin begitu perut kayak lagi konser metal. Ketika sampai di sana, kosong. Gue hendak bertanya ke Bibi Kantin, tetapi lelaki di samping gue lebih dulu bertanya.
"Bi, gorengan habis?"
Bibi Kantin mendekat ke dagangannya kemudian menjawab, "Iya habis."
"Bikin lagi, dong, Bi. Saya beli empat," ujarnya lagi.
Tampak Bibi Kantin mengangguk lalu menoleh ke gue setelah menyadari keberadaan gue, "Neng mau juga? Biar sekalian Bibi masaknya."
"Iya, aku juga, Bi. Empat," sahut gue.
Suara penggorengan mulai terdengar. Harumnya menggelitik hidung membuat perut gue semakin keroncongan. Gue bergerak ke bangku yang jaraknya hanya dua langkah dari posisi gue berdiri tadi, mendaratkan bokong di sana, dan ketika menengadah—lelaki itu duduk di sebrang gue. Jaraknya dekat. Mungkin hanya lima langkah. Lelaki itu menunduk, kakinya digerak-gerakan entah mengapa, potongan rambutnya rapih, kemudian mata gue tak sengaja membaca name tag-nya; Kensastra Sagenta.
"Kenapa atuh kalian tèh baru jajan? Tadi istirahat kemana waè?" tanya Bibi tiba-tiba. Kami serempak menoleh dan sama-sama cengengesan.
Lelaki itu, ekhem, Kensastra maksudnya, berjalan mendekat ke meja Bibi Kantin berada. “Saya mah tadi ketiduran, Bi. Parah pisan sekelas gak ada yang ngebangunin.”
"Naha atuh ai kamu beut tidur. Yeuh, kasèp, sekolah tèh tempat belajar, bukan tempat tidur," sahut si Bibi yang kemudian dibalas kekehan kecil dari Kensastra. Bibi melirik gue, tangannya bergerak mengisyaratkan gue untuk menghampirinya karena gorengan sudah siap dibeli.
Bibi lanjut bertanya ke gue, "Ai Neng geulis ini kenapa atuh baru jajan? Sama kayak si Aa ini ketiduran di kelas?"
Sebelum menjawab, gue melirik Kensastra yang nyatanya sudah melirik gue sambil tersenyum lembut. Ibarat kayak fangirl, gue rasanya mau menjerit.
Permisi, itu lelaki yang namanya Kensastra boleh jangan senyum begitu, gak? Nanti dikerumunin semut. Soalnya manis banget.
"Nggak dong, Bi. Aku ... istirahat tadi ngerjain PR. Masih ada beberapa yang belum selesai.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Patah Hati Setengah Komedi
Humor"Bun, semasa remaja Bunda pernah nangis gak?" tanya Azya, lagi makan batagor. Bunda diam sebentar. Nampak mengingat-ingat sesuatu. Seulas senyum lantas terlukis di bibirnya, beliau menjawab, "Pernah. Bunda suka." Kening Azya berkerut tak mengerti. B...