Ranya Andini
"Lagi ngapain, Nya?" — Dika
"Jalan."
"Mau kemana, Nya?" — Trian
"Kemana aja yang penting nggak ada lo."
"Mau di gendong, Nya?" — Jacky
"Lo pikir gue Mbah Surip?"
"Hmm .. itu, Nya .. anu itu hmmm,"
"Ham hem ham hem, situ Nissa Sabyan?!"
"Enggak ke kantin aja, Nya? Di lapangan panas, nanti kamu item," — Trian
"Jangan pada berisik deh," balasku. "Udah sana pada pergi, ngapain sih ngikutin gue?!" Melihat tidak ada tanda-tanda ketiga cowok itu akan pergi, aku pun segera berbicara lagi. "Gue hitung sampe tiga, kalau kalian nggak pada pergi jug—" dan secepat mata berkedip, secepat itu pula lah ketiga cowok itu meninggalkan ku di pinggir lapangan.
Huh, kenapa nggak dari tadi sih!
Sekarang, aku mulai mengamati seisi lapangan yang siang hari ini diisi oleh anak-anak club futsal sekolahku yang sedang berlatih. Mataku spontan menajam saat melihat sosok yang sedari tadi aku cari sedang berdiri sambil mengelap keringatnya.
Prasenja Jawastin.
Aku tersenyum, sangat lebar. Ada rasa senang ketika melihat cowok itu melakukan sesuatu yang memang ia sukai. Aku melipat kedua tanganku di atas perut. Senyumku terekah ketika pandangan mataku bertemu dengan manik mata cokelat milik Prasenja. Aku selalu suka saat-saat seperti ini, saat-saat dimana ketika aku ada di hadapannya, maka seluruh fokus cowok itu hanya akan berpusat kepadaku.
Kalian tahu?
Aku suka ketika melihat Prasenja menundukan kepalanya salah tingkah ketika kami terlalu lama bertatapan, sementara aku akan dengan sigap membantu Prasenja untuk semakin salah tingkah, apapun aku lakukan asalkan dia tidak menunjukan wajah datar di hadapanku.
Aku juga suka mendengar Prasenja mengomentari penampilanku, sedangkan aku hanya akan tersenyum lebar dan mengulangi kesalahanku lagi dalam berpakaian hanya untuk mendengar kalimat-kalimat Prasenja yang panjang.
Aku menyukai ketika kami berdiskusi, entah mendiskusikan apapun yang jelas ketika kami berdiskusi, kami akan saling berteriak karena merasa argumen kami masing-masing adalah yang terbenar. Aku suka berada dalam satu lingkaran hidup bersama Prasenja, sungguh.
Dan aku pun menyukai potongan rambut Prasenja yang rapih. Cowok itu memang selalu berpenampilan rapih. Karenanya, dari jarak jauh pun aku masih bisa membedakan Prasenja di antara yang lainnya.
Aku suka bagaimana muka datar cowok itu saat berpikir, tersenyum dan tertawa lepas. Aku suka mendengar nada suara cowok itu ketika memanggil namanku bahkan sampai menegurku. Bagaimana cowok itu berjalan dan berlari, aku sudah paham bagaimana gesture tubuh Prasenja dalam sekejap mata, jam tidurnya yang selalu tidak tepat waktu, dan hembusan napas lelahnya ketika meladeni argumenku.
Aku suka semua yang ada pada diri Prasenja, sungguh.
Anyway,
Perkenalkan namaku Ranya. Ranya Andini Habizar. Biasa dipanggil Ranya, Nya, atau Andin. Baru tiga bulan menjadi murid kelas X di SMA Prisma sama dengannya—Prasenja. Bedanya, Prasenja mungkin tidak sepopulerku atau bahkan kedua sohibnya—Arman dan Yolan. Kenapa aku populer? Sederhana, karena aku cantik. Cewek cantik jelas cepet populernya, kan?
"Subhanallah... itu senyum manis banget."
Nah dengarkan? Aku juga punya senyum yang manis, mukaku itu penuh kombinasi. Kalau lagi diem jadi kelihatan judes dan galak, tapi kalau udah ngomong bisa kelihatan cerewet, dan kadang bisa amit-amit juga kalau lagi najisin (ini kata Prasenja) Tapi sekalinya udah senyum, ambyar udah hati kalian. Mau marah juga nggak akan tega pasti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranya [VERSI DIGITAL TERBIT DI KARYAKARSA]
Teen Fiction-Prasenja Series- FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA. Ada kalanya aku ingin berhenti kemudian menyerah untuk jatuh cinta dan patah hati, karenamu. "Lo suka gue?" Prasenja mengangguk. Notes : Privat acak! Dan jangan di plagiat!