09 | Hal Yang Asing

49 29 22
                                    

Ranya Andini

.
.
.
.
.

Senin hari ini, aku datang cukup siang.  Sengaja menang,  agar cepat kembali ke rumah karena hari ini aku hanya akan berpamitan kepada teman-temanku sebagai salam perpisahan. Hari ini aku akan mengikuti upacara terakhirku bersama mereka di sekolah ini. Semoga saja, mereka tetap akan menganggap ku teman meskipun waktu kebersamaan kami tidak banyak. 

Aku akan berangkat ke Singapura pekan depan, semua sudah diatur dengan sedemikian cepatnya oleh nenekku. Aku ingin mengumpat, tapi dia nenekku.

Aku melewati parkiran motor, dan menemukan motor kebangsaan milik Prasenja sudah terparkir di sana. Dia memang selalu datang pagi, meskipun jarak rumahnya ke sekolahan hanya tinggal menyeberangi jalan raya komplek saja. Setidak punya kerjaan itu memang dia.

Aku tersenyum simpul sambil lalu, padahal hanya melihat motornya saja tapi entah mengapa rasanya bisa semenyenangkan ini. Melintasi koridor sekolah, aku berbelok untuk menaruh tas kedalam kelasku sebelum menyiapkan diri untuk mengikuti upacara. 

"Nya," 

Aku menghentikan langkah tanpa berbalik. Aku kenal si pemilik suara yang baru saja memanggil namaku itu. Seseorang yang membuatku memohon pada Tuhan agar lekas melapangkan hatiku untuk mengikhlaskannya.

Langkah kakinya terdengar mendekat, saat aku mengangkat wajah, dia sudah berdiri di hadapanku sambil tersenyum.

Padahal, aku yang akan meninggalkannya, tetapi kenapa malah aku yang merasa paling sakit disini. "Kenapa, Pra?"

"Nih." Prasenja memberikan sesuatu padaku, kantung plastik berwarna putih berlogokan minimarket. "Di minum biar gak alesan ke UKS." 

Aku terkekeh. "Apa sih lo, yakali gue bakal ke UKS karena haid hari pertama."

"Katanya kalau cewek lagi banyak pikiran terus haid, bisa jadi pingsan, bisa jadi juga bagian perutnya sakit, bisa juga nembus karena darah yang keluar terlalu banyak. Bawa aja buat jaga-jaga, ada pembalut juga di dalamnya." ujarnya santai, seolah-olah menyebutkan pembalut ditengah umum seperti ini adalah hal yang biasa untuknya.

Merasa lucu atas penjelasan Prasenja, aku menerima kantung plastik itu dari tangan Prasenja sambil tersenyum kecil, awalnya saja kecil tapi lama-lama mengembang dengan lebar sendiri tanpa kusuruh. "Katanya itu kata siapa, Pra?"

"Google," balas Prasenja. Kami masih berdiri di koridor dekat dengan kelasku. "Gue lupa sesuatu tapi apa ya?"

"Kebiasaan amat sih!" aku menggerutu heran. Dia pasti kelupaan membawa barang, aku yakin itu. 

"Ciee ngomel lagi." dia malah terkekeh. "Jangan pasang muka sedih, muka lo gak cocok jadi orang yang tersakiti."

Aku mengatupkan bibir sambil memandang wajahnya datar. Saat pandangan kami bertemu tatap cukup lama aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kantung mata Prasenja makin tebal. Mata sayu itu, sangat teduh ketika memandangiku meskipun terlihat mengantuk. "Berhenti begadang, Pra. Jangan lagi kerjain tugas-tugas mereka." 

Dia terkekeh lagi. "Iya."

"Pra," aku masih menatap wajahnya. Wajah inilah yang nantinya akan aku rindukan, wajah yang tak pernah marah berlebihan ketika aku salah. Wajah, yang tak pernah berpaling saat aku meminta tolong. Wajah, yang selalu menunjukkan ekspresi kepeduliannya padaku padahal banyak mata yang tertarik memberikan perhatian padanya.

"Apa?" 

"Kalau nanti lo liat gue dalam mimpi, artinya gue pengen banget ketemu lo, tapi lo jangan nyusulin gue ke sana. Cukup ambil wudhu, solat, dan berdoa untuk kita aja. oke?"

Dia menyanggupinya dengan mengangguk sambil tersenyum. Melihat senyum itu mau tak mau membuatku tersenyum. Prasenja, terimakasih sudah mengajarkan aku banyak hal terutama perihal sabar. 

"Nya,"

"Apan?"

"Gue inget kelupaan bawa apa."

"Apa?"

"Dasi."

Dia berlari meninggalkan aku menuju kelasnya, aku tertawa geli melihat ekspresinya yang kelewat panik itu. Tapi tiba-tiba dia berhenti, lalu berbalik arah berlari ke arahku lagi. Aku melipat tangan sambil menaikan sebelah alis dan tersenyum manis ketika dia sudah berdiri di hadapanku lagi. 

"Udah sarapan?” katanya tiba-tiba. Lalu aku mengangguk. “Boleh cium?” aku melotot sambil mengepalkan tangannya kepadanya. Sedangkan dia tersenyum sangat lebar sambil terus memandangi wajahku. “Talk me, kalau you miss me ya, Nya.”

Senyumku melebar sempurna, dan dia—Prasenja berlari lagi menuju kelasnya.

Aku menggeleng pelan mengingat tingkahnya tadi dan berniat berjalan menuju kelasku tapi seseorang lebih dulu memegang pergelangan tanganku. Aku menoleh, dan menemukan Yane yang tersenyum lebar untuk menggodaku. "Gemesin banget sih kalian berdua pagi-pagi gini." 

Aku menghembuskan napas sambil melipat tanganku kembali di atas perut. "Lo bawa dasi gak, Yan?"

"Bawa."

"Jangan dipakai ya?"

"Kenapa emang?"

"Dasi gue mau gue kasih Prasenja, dia lupa bawa dasi, Lo jangan pakai, biar samaan kita."

"Si dodol, ogah ah."

"Gak bakal dihukum gue jamin."

"Ngibul ah."

"Gue tinggal say hello aja sama OSIS yakin kita gak bakalan di hukum."

"Bener ya lo?"

"Iya. Udah ah, nih, titip sekalian bawa ke kelas. Gue nyamperin Prasenja dulu." aku memberikan kantung plastik dan juga tasku pada Yane. 

Untungnya temanku itu menurut dan tidak banyak bertanya, jadi sambil melangkah ringan ke kelas Prasenja, aku melapskan dasi yang sudah aku kenakan. Jarang-jarang aku bisa berguna untuk dirinya, karena itu dengan senyum yang tak luntur dari bibirku sejak bertemu Prasenja tadi, langkah kakiku cepat membawaku ke arah kelas Prasenja. Tapi, sebelum aku sampai pada kelasnya, langkah kakiku melambat lalu terhenti sendiri. Tubuhku membeku begitu melihat sesuatu yang membuatku tersenyum miris.

Sebab, yang kemudian aku lihat adalah sesuatu yang bisa membuatku merasakan patah hati dan cemburu untuk yang pertama kalinya secara bersamaan.

.

.

.

.

.

.

Vote and komen yuk biar author semangat

Ranya [VERSI DIGITAL TERBIT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang