10 | Patah Hati Itu Mudah

51 31 20
                                    

Ranya Andini

.
.
.
.
.

Jika kau bertanya
Tentang cinta dalam diam.

Mungkin:
Ia adalah rasa indah dalam dada,
Yang tak sanggup diungkapkan.

Karena:
Ada kecemasan
Jangan-jangan harapan kan
bertemu dengan kekecewaan.

Jika kau bertanya
Tentang cinta dalam diam.

Bisa jadi:
Ia adalah rasaku kepadamu,
Yang kupendam bertahun-tahun,
Dari dulu, sekarang, mungkin juga nanti.

Tapi:
Aku tak mau mengganggumu,
Jangan-jangan kau bisa menerima cintaku.

Padahal:
Mungkin saja
Aku tak sanggup memberi sebutir kebahagiaan, sekolam permata untukmu.

Jadi:
Jangan hiraukan perasaanku
Jika kau mengetahui itu.

Sebab:
Aku tak lagi siap ditinggalkan hanya karena kurang memberi.

---Anonim

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi tapi aku belum juga mau keluar dari dalam kelasku.

Yane ada bersamaku, menemaniku tanpa banyak bertanya seperti biasanya. Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.

Perkara melihat seseorang memasangkan dasi untuk Prasenja saja pikiranku langsung kalut begini. Seharusnya, aku sudah berada di parkiran motor sekarang, seharusnya juga aku sudah sampai rumah. Tapi alih-alih melangkahkan kaki dengan semangat menuju parkiran motor untuk pulang bersama dengan Prasenja, aku malah merenungi sesuatu di dalam kelas.

Jelas, ketika melihat orang yang memakaikan dasi untuk Prasenja, aku mulai mengingat jelas siapa dia. Dia adalah Kakak kelasku, namanya Maudy, dia dulu satu sekolah dengan Prasenja dan juga Zura.

Sejenak, aku mengingat-ingat kembali interaksi mereka. Mereka, jarang mengobrol, tapi sering tersenyum satu sama lainnya jika bertemu secara tidak sengaja. Maudy, pernah menyuruh Prasenja mebacakan sebuah puisi untuknya waktu ospek. Dan Prasenja membacakannya, tanpa teks. Puisi itu dia hapal di luar kepala, seolah-olah memang puisi itu terbuat untuk dirinya—Maudy.

Jika kau bertanya tentang cinta dalam diam, bisa jadi, ia adalah rasaku kepadamu. Aku mengacak-acak rambutku gusar kala mengingat lagi kutipan puisi yang pernah Prasenja bacakan untuk Maudy. Terasa begitu sederhana, dan jujur.

Ponselku sedari tadi tak henti-hentinya bergetar, nama Prasenja tertera sebagai si penelpon. Aku mengabaikannya lagi entah untuk yang keberapa kalinya. Aku belum siap menemuinya, belum siap menebar senyum untuk menyapanya. Aku, belum siapa menahan tanya yang sejak tadi ingin aku katakan padanya.

Dari dulu, aku hanya yakin Prasenja menyukaiku. Karena dia selalu membatasi dirinya dari perempuan yang berusaha mendekatinya. Tetapi, dia tidak pernah membatasi diri untuk berinteraksi denganku, untuk tersenyum dan mendekatiku. Karena itulah aku terlalu yakin jika puisi yang sempat dia bacakan untuk Maudy saat ospek saat itu adalah untuk diriku. Tapi jika aku pikirkan kemungkinan lainnya, bisa saja itu memang benar untuk Maudy.

Aku menoleh, memperhatikan Yane yang tampak asik dengan dunianya sendiri dalam ponsel. Terkadang aku ingin menjadi dirinya, yang bebas dan bisa mengucapkan kata yaudah lah, mau gimana lagi? Jalannya memang gini kali, terima aja sepuasnya jika berada pada satu momen yang tidak dia sukai. Dia tidak pernah memikirkan hal-hal yang membuatnya sakit hati, karena itulah dia selalu baik-baik saja. Ah, aku iri.

Ranya [VERSI DIGITAL TERBIT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang