08 | Ada Senyum Yang Hilang

64 39 34
                                    

Prasenja Jawastin

.
.
.
.
.

"Lepas dulu sarungnya, Pra..." kata Ranya, yang tau-tau sudah berdiri tepat di hadapanku. Tatapan matanya tak terbantah, jelas. Karena aku tahu, dia paling tidak suka jika aku langsung menuju meja makan sehabis pulang dari masjid.

Dengan hati-hati, kutaruh kembali ayam goreng yang tadi sudah ingin aku makan. "Ngapain?"

"Ngasih kue, dari Oma... Cepet ganti dulu bajunya!"

Aku terdiam, menatap nelangsa pada ayam goreng itu sebentar. "Lagi ada acara di rumah lo?" aku melepaskan sarung dan melipatnya, padahal aku baru punya niat untuk meletakkan sarung ini di kursi tapi Ranya sudah mengomel kembali. "Di kamar naruhnya! Bukan di kursi!" omelnya, yang membuat aku pada akhirnya melangkahkan kaki juga menuju kamar. Padahal aku membuka sarung di meja makan tadi memang sengaja, agar tidak berjalan ke kamar, tapi ternyata itu jadi hal yang sia-sia. Setelah menaruh sarung pada tempatnya, aku kembali menemui Ranya. Kukira dia sudah pulang karena tidak ada di meja makan, ternyata dia ada di ruang tv rumah nenekku.

"Kenapa?" aku duduk disampingnya, "Kalau gak mau nonton tv, ngapain duduk disini?"

Ranya menoleh memandangku. Sebuah desahan lolos begitu saja dari bibirnya. "Lo gak kangen ya sama gue?" dia bertanya. "Kayaknya udah mau hampir dua bulan deh kita gak pernah ngobrol santai begini ya?"

"Kangen."

Ranya terdiam, lalu menatap tv kembali. Kami sama-sama memandang lurus, memandang bayangan kami satu sama lainnya pada layar tv yang masih menghitam layarnya. "Lo... Udah denger?"

"Apaan?"

"Soal gue yang pindah sekolah." lagi, Ranya mendesah. "Sumpah, ya! Gue tuh pengen nolak, Pra. Gue... Masih pengen ikut lomba dance itu. Seperti yang lo tau kami menang, yang artinya gue punya kesempatan buat ikut program pelatihan. Sayang banget gak sih kalau harus gue tolak?"

Aku terdiam. Memandang bayangan Raya dari layar televisi itu, cepat atau lambat, sebenarnya aku tahu hal ini akan terjadi. Cepat atau lambat, aku tahu pada akhirnya hubungan kami tidak akan pernah bergerak kemana-mana. Ranya, punya cita-cita, tapi harus dia lepaskan untuk keluarganya. Ranya, juga punya aku, sebagai tempatnya berbagi keluh kesah. Tapi... Aku pun harus ia lepaskan, lagi-lagi untuk keluarganya. "Kalau dibilang sayang ya sayang, cuma kan emang udah seharusnya gitu, untuk terus hidup, lo akan selalu dihadapkan pada sebuah pilihan, dan pilihan ini yang akan menentukan masa depan lo nantinya."

Ranya membuka mulut, kemudian terkatup lagi. Bahkan untuk berbicara pun dia ragu. "Kalau gue ada disalah satu pilihan dalam hidup lo, kira-kira lo bakalan pilih gue atau enggak?"

"Iya."

"Masa? Meskipun itu pilihan yang sulit, lo masih mau pilih gue?" Ranya mengalungkan lengannya pada lenganku, kepalanya... Bersandar di bahuku. "Gue selalu pengen nyoba buat mertahanin lo, tapi susah. Gue, juga selalu pengen nyoba buat lupain lo, tapi lucunya itu lebih susah."

"Jadi, lo udah suka gue nih?" aku tersenyum simpul. "Dari kapan?"

"Dari waktu lo masih pakai baju Mickey mouse. Itu, udah lama ya kan dan lo belum suka sama gue pasti."

"Udah. Gue kan gak normal dari kecil, masa naksir orang dari kelas empat SD. Mana cewek yang gue taksir itu modelan elo lagi." balasku.

Kami sama-sama terkekeh, lalu merenung beberapa saat.

Lagi-lagi, akan ada senyum yang hilang, saat langkah menjauh dia lakukan. Tapi, aku yakin. Hati selalu menerima kata maaf saat pemiliknya kembali.

Setelah beberapa saat hening, akhirnya Ranya menegakkan tubuhnya lagi dan memberanikan diri untuk memandangku.

Sorot mata sayup milikku langsung beradu dengan netra sendu milik Ranya. Manik mata cokelat jernih yang sangat aku rindukan itu perlahan mengobati rasa rindu yang sudah dua bulan lamanya aku tahan.

"Gue mau ngomong satu hal."

"Apa?"

"Nanti, waktu lo udah gak seganteng saat ini lagi, Dateng sama gue. Jangan pernah berpikir untuk menghindar dari gue, gue akan tetap terima lo gimanapun kondisi fisik lo nanti."

Aku terkekeh, "Melow amat yang mau pergi."

Ranya tersenyum, lalu memandang ke depan lagi. "Pra?"

"Hm?"

"Senang ketemu sama lo di mimpi gue."

Menarik sudut-sudut bibirku sambil menunduk, aku pun pernah merasakan hal yang sama seperti apa yang Ranya rasakan. "Nya,"

"Apa?"

"Dengar ini, gue sayang lo. Makasih, pernah melukai banyak hati cuma buat gue."

Pelan, kulihat senyum manis milik Ranya muncul. "Tunggu gue, ya?" katanya lembut.

Detak jantung dengan irama yang menggila ini kembali mucul saat aku berada sedekat ini lagi dengan Ranya. Detak yang aku pikir sudah hilang saat semuanya sudah aku anggap berakhir.

Jika ada yang terluka maka kami adalah orangnya. Jika ditanya tentang siapa yang paling pandai menunggu, aku adalah jawabannya.

"Oke..." Tanpa sadar air mata gadis itu mengalir satu detik setelah aku mengatakan kata sederhana itu.

Aku tersenyum tipis, lalu mengusap air mata Ranya. Aku tersenyum melihat dia berhambur masuk ke dalam pelukanku, cewek itu masih menangis tanpa bersuara. Aku memeluknya dengan amat sangat lembut. Seakan-akan dengan kelembutan itulah aku bisa menunjukan pada Ranya bahwa aku bukan hanya sekedar mencintainya.

"Gue bisa membuat diri gue terlihat baik-baik aja, Pra." Cewek itu masih menangis sambil memelukku, "Gue bisa tidur dengan nyenyak, makan dengan lahap seolah-olah gak pernah terjadi apapun diantara kita. Tapi lagi-lagi itu susah, Pra. Setiap kali gue buat diri gue sibuk supaya bisa lupa sama lo. Kenangan tentang kita selalu muncul. Buat gue inget lo, kangen sama lo, dan pengen banget ketemu sama lo. Gue harus gimana, Pra... Gue harus gimana..." tangisnya makin jadi.

Dan yang bisa aku lakukan dari dulu dan bahkan sampai saat ini hanyalah mengusap punggungnya saja.

.
.
.
.
.

Coment..

Vote..

Follow...

Ranya [VERSI DIGITAL TERBIT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang