02 | Tentang Kata Menyukai

208 83 50
                                    

Arah Prasenja

Aku menyukainya.

Dalam kondisi apapun, aku akan selalu menyukai Ranya, mengaguminya di setiap waktu yang aku punya dan menatapnya bagaikan sesuatu yang akan terus berharga sekalipun mungkin sesuatu yang berharga itu telah hancur.

Tapi sayangnya, aku tak pernah punya kuasa untuk bisa mengungkapkan itu semua kepada Ranya. Yang bisa aku katakan hanya sebatas perasaan suka, tidak untuk mengagumi atau bahkan mencintai.

Tidak, batas keberanian diriku hanya sebatas mengatakan aku menyukai Ranya.

Karena itulah kami terjebak dalam kata persahabatan, hubungan kami tidak akan pernah beranjak kemana-kemana padahal aku adalah laki-laki yang mencintai Ranya dengan tulus, tanpa karena, dan tanpa jeda. Karenanya, aku telah rela untuk menjadi pengagum utama seorang Ranya Andini yang paling setia.

Inilah yang paling aku sukai, melihat sendiri bagaimana gadis itu bergerak lincah mengikuti alunan lagu. Wajah cantik itu akan terus menampilkan senyum yang mempesona. Tatapan matanya yang jenaka membuat siapapun tahu bahwa si pemilik mata itu bahagia sekali ketika menari. Membuat mereka yang melihat pasti akan kembali jatuh cinta lagi dengan seorang gadis bernama Ranya Andini.

Aku tidak pernah mengira, menatap Ranya seperti ini ternyata tidak pernah membosankan untukku. Karena bagiku, hanya saat-saat seperti inilah aku bisa menunjukan kepada Ranya tentang seberapa tulus aku mencintai Ranya.

Ranya, teman semasa kecilku yang saat ini sudah tumbuh menjadi gadis yang cantiknya luar biasa. Aku masih ingat betul bagaimana perkenalan pertama kami enam tahun yang lalu, Ranya adalah cinta pertamaku. Atau bisa disebut Ranya adalah cinta yang aku miliki sebagai satu-satunya cinta sampai detik ini.

"Lo ngelamun terus."

Kata-kata itu keluar dari mulut Ranya yang sudah duduk di sampingku. Tepat dihadapan pintu kaca ruang dancer, ngomong-ngomong kapan latihannya selesai?

"Emang, iya?" Aku bergumam. "Gue nggak merasa melamun, sih, Nya."

"Lo mikirin apaan deh?"

"Lo udah selsai?" Aku pun mengambil alih handuk kecil yang Ranya gunakan untuk menyeka keringatnya, kemudian ketika handuk itu sudah berpindah tangan, akulah yang melanjutkan menyeka keringat Ranya. "Dari kapan?"

"Ck! Makannya jangan melamun jadi nggak tau kan gue udah selsai apa belum!" Ranya berdehem ketika aku menyerahkan kembali handuk kecil berwarna merah itu kepadanya. "Itu... tadi ada pengumuman pemberitahuan lomba, gue boleh ikut?"

"Hah?" Aku memberi ekspresi heran. "Kenapa harus ijin ke gue?"

"Ya karena gue nggak mau lo marah."

Aku mengedip beberapa kali. "Kenapa gue harus marah?"

"Setiap grup diwajibkan tampil dua kali,"

"Nggak masalah."

"Gerakannya agak hot,"

"Udah biasa."

"Kalau menang, nanti kami di daftarin buat ikut pelatihan khusus,"

"Bagus dong."

"Kalau dapat hadiah, gue nggak bisa neraktir lo bakso dulu soalnya harus diet,"

"Gue bisa beli bakso sendiri."

"Dan,"

"Dan?"

"Konstum kami nanti yang bakalan buat lo misuh-misuh nggak jelas pasti."

Ranya [VERSI DIGITAL TERBIT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang