Prasenja Jawastin
.
.
.
.
."Ada salam dari Zura, Pra." Aku menengok ketika Deni mengatakan kalimat itu sambil memasang peci hitam kesayangannya. "Hampir setiap hari tuh dia kirim salam, sampai bosen gue dengernya."
Aku menarik sedikit sudut bibir sebelah kiriku, menahan diri untuk tidak menitipkan balik salamku kepada Zura. Ini senja, kami sedang berjalan menuju masjid komplek perumahan kami untuk bersiap-siap melaksanakan ibadah sholat maghrib. Deni, temanku itu memang satu sekolah dengan Zura jadi jangan heran kalau kalian mendengar Zura mengirimkan salam padaku lewat Deni, dulu kami sebenarnya satu SMP, aku, Zura dan Deni berada disatu sekolah yang sama. Kami berpisah ketika memasuki SMA, ibuku melarangku masuk disatu sekolah yang sama dengan mereka. Ah, sial, mengingat kejadian itu membuat aku malas untuk membahas lebih lanjut.
Kembali lagi kepada Deni, sebenarnya dari tadi cowok itu sedang berbicara, tetapi aku tidak fokus pada kalimatnya beberapa detik yang lalu, fokusku kembali ketika dia bertanya seperti ini, "Kenapa lo suka banget deket sama cewek yang banyak omong, Pra?"
"Karena gue suka jadi pendengar yang baik." Aku melempar senyum geli sambil mengangkat sebelah alisku. Aku paham kenapa ia bertanya seperti itu. Dia pasti menyinggung soal Zura dan Ranya yang banyak omong alias cerewet. Zura, dia memiliki wajah yang cantik. Dia punya alis yang tebal. Mata nakal yang menantang, serta hidung yang mancung, kulitnya putih, tetapi senyumnya tidak seperti Ranya.
Ah, Ranya.
Menyebutkan nama itu dalam hati saja sudah membuatku tersenyum.
"Padahal lebih seru pacaran sama cowok yang banyak omong," sahut Deni. "Pacarannya bisa lebih gila."
"Gue rada tersinggung," ujarku, membenahi sarungku terlebih dahulu. "Sediem-diemnya cowok cuek, dia juga pasti akan bersikap romantis dan seru untuk membuat orang yang dia sayang, nyaman sama dia."
Deni memutar bola matanya sambil meninju daun pandan yang tertanam di pot depan pagar halaman rumah warga yang aku tidak tahu nama pemiliknya. Aku paham jika Deni kesal, tapi dia salah jika harus menyama ratakan semua lelaki. Semua manusia punya selera masing-masing dalam hal memilih pasangan mereka, mau itu cowok cuek atau tidak. Itu tidak masalah asalkan jangan brengsek.
Akan tetapi, jika kita berbicara soal brengsek. Zaman sekarang, menurutku, banyak sekali laki-laki yang menyembunyikan keberengsekannya pada pribadi yang ia buat sendiri, ada yang berpura-pura menjadi cuek, dingin dan misterius hanya agar para perempuan penasaran terhadap dirinya lalu setelah terperangkap muncul lah sifat brengseknya, dan kalsiknya si perempuan tidak bisa meninggalkannya karena sudah merasa nyaman. Kemudian si perempuan menyalahkan dirinya sendiri karena perubahan sikap pasangannya padahal ia tidak tahu saja jika sedari awal memang lelaki itu sudah brengsek.
Aku dan Deni sudah tiba di masjid. Ketika ingin menaiki anak tangga pertama Deni memukul tanganku, ku tanya ada apa, dia bilang, "Taro sendalnya sini aja, nanti ilang."
"Gak bakal ilang."
"Ya kalau enggak ketuker atau dituker orang."
"Gak bakal."
"Siniin elah, gitu-gitu sendal swallow tuh berharga, dan sesuatu yang berharga itu harus lo jaga."
Aku terkekeh kemudian memindahkan sandalku ditempat yang Deni tunjukkan tadi. Selsai dengan urusan sandal kami mulai menaiki anak tangga masjid, dan aku langsung menemukan Ranya berdiri di samping pintu masuk masjid deket dengan kaca.
Kamu akan bisa merasakan hatimu menghangat sama sepertiku ketika melihat perempuan yang kamu suka berada di tempat ibadah yang sama denganmu. Meskipun kamu belum jadi imamnya tapi ingat kata tukang parkir 'maju terus' untuk bisa menjadi imamnya kelak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranya [VERSI DIGITAL TERBIT DI KARYAKARSA]
Teen Fiction-Prasenja Series- FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA. Ada kalanya aku ingin berhenti kemudian menyerah untuk jatuh cinta dan patah hati, karenamu. "Lo suka gue?" Prasenja mengangguk. Notes : Privat acak! Dan jangan di plagiat!