05 | Permen Bersejarah

120 58 28
                                    

RANYA ANDINI

"Lo dimana?"

Brengseknya, cowok itu tetap tidak mengatakan apapun ketika panggilan telfon kami terhubung. Tahu begini aku jadi menyesal tidak ikut pulang dengan teman-temanku tadi.

"Gue disini, Ranya."

Untuk kesekian kalinya, aku menarik napas panjang kemudian berkata, "Sebelah mana?"

"Kiri." Dia bilang, tapi ketika aku menoleh kesebelah kiri tubuku dia dengan cepat memotong, "Eh, salah kanan maksudnya." Bodoh dasar!

Bingo! Aku menemukannya berdiri tidak jauh dari hadapanku saat ini. Dia mematikan ponselnya dan menyimpannya disaku celana seragam sekolahnya. Dia berjalan mendekat kearahku kemudian mengangambil ponsel dari telingaku. "Telfonnya kan udah mati." Katanya, mengembalikan ponselku dengan napas yang tidak beraturan.

"Sejauh apa lo lari sampai keringetan gini?" Aku akhirnya bertanya setelah berdeham untuk menguasai diri lagi, aku seka keringatnya yang jatuh pada pelipis sebelah kirinya.

Lalu, dia memegang dan membawa pergelangan tanganku yang baru selesai mengelap keringatnya kearah bajunya. Ia mengelap tanganku yang terkena keringatnya pada bajunya. "Maaf, ban motor gue bocor." Itu katanya.

"Gak lo tinggal kan motornya ditukang tambal ban?"

"Menurut lo?"

Dia meninggalkannya, aku yakin itu. Aku baru saja ingin menggerutu panjang lebar tapi tidak jadi ketika dia menaruh tiga pieces permen yupi strawberry kiss ditelapak tanganku.

"Permen yupi yang manis untuk center dancer sekolah Prisma yang manis." Prasenja memang seperti ini selalu saja menggodaku untuk berbuat khilaf padanya. Sialan.

Tepat pada detik setelahnya aku tersenyum. "Kita pulang naik apa?"

"Motor."

"Punya siapa?" Aku mengerutkan dahi menatapnya saat ia menaruh jaket polos abu-abunya dipundaku. Dia selalu seperti ini, bersikap manis dalam diamnya, tanpa aku pernah meminta.

"Uwak."

Biar aku tebak, cowok gila dihadapanku ini pasti berlari ketempat Uwak--kakak ibunya bekerja. Meninggalkan motornya ditempat tambal ban agar aku tidak menunggunya lama, tapi tetap saja dia terlambat.

Hah.

"Lain kali gue janji gak akan telat."

"Gue masih sama," Aku tersenyum kecil. Memilih membuka satu permen yupi, lalu memalingkan wajah. "Masih gak pernah suka cowok yang gak bisa nepatin janji."

"Gitu, ya?" Cowok itu mulai menyebalkan, dengar saja kalimat selanjutnya. "Gue juga sama. Masih gak pernah suka denger cewek yang gue suka ngobrol sama mantan." Ujarnya, kemudian menarik tanganku untuk berjalan keluar. Ngomong-ngomong sebenarnya kami masih di dalam gor tempat acara lomba berlangsung tadi. Tenang, disini masih ada beberapa manusia jadi bukan hanya kami berdua saja.

Aku tertawa, bisa-bisanya dia tau aku ngobrol dengan mantan padahal dia saja datang sangat-sangat terlambat. Kali ini siapa informannya? "Tau dari mana?"

"Kuku jempol tangan."

Aku terbahak. "Plis lah, kolot banget itu."

Aku sempat berhenti tertawa saat sudah keluar dari gor. Ternyata hujan, pantas saja dia memberiku jaket. "Ada jas hujan?"

Dia terkekeh, lalu mengambil jaket yang masih tersampir dipundaku. "Udah sih ujan-ujanan aja."

"Nggak ada akhlak emang lo ya nyuruh gue ujan-ujanan terus." Ucapku pura-pura kesal, aku tau dia tidak akan seberani itu untuk meyuruhku hujan-hujanan jika tidak terpaksa.

Ranya [VERSI DIGITAL TERBIT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang