11 | Jangan Putuskan Kau Tinggalkan Aku

65 27 33
                                    

Sorry kalau ada typo 👻

Ranya Andini

.
.
.
.
.

"Kenapa gue malah pengen nangis ya?"

Yane yang sedang fokus menonton film After yang dibintangi oleh Hero Fiennes -Tiffin-Aktor kesayangannya itu langsung menoleh. "Kenapa lo pengen nangis ngeliat orang lagi ciuman?"

"Lo ngerasa gak sih?" aku bertanya, mengabaikan tanya dari Yane sebelumnya. "Kalau film ini nyindir gue banget?"

Membuka bungkus permen milkita rasa strawberry Yane lakukan terlebih dahulu sebelum akhirnya menghembuskan napas lelah. Malam hari ini, aku sedang menemani Yane menonton beberapa film rekomendasi darinya. Kamar Yane itu nyaman, membuat aku yang setiap kali sudah berada di sini menjadi malas untuk pulang.

"Enggak sih," kata Yane dengan mata yang kembali fokus pada layar Tv. Permen itu sudah masuk ke dalam mulutnya, sambil bersandar pada sofa dan memeluk bantal. Yane mengatakan, "Biasanya yang tersindir itu yang punya salah. Kenapa? Lo merasa seperti Hardin gitu? Yang bikin anak baik-baik jatuh cinta sama dia?"

Ikut bersandar pada sofa seperti Yane aku pun mengangguk membenarkan. "Kurang lebih gitu."

"Nya, lo gak kayak Hardin kali." Yane menarik napas. "Hardin bad boy, lo gak. Iyalah lo enggak, secara lo kan cewek, masa bad boy, gak nyambung dong."

Usai mendengar kalimat tidak jelas itu, aku mengumpat. Kupikir dia akan berbicara serius tapi ternyata ucapnya hanya dagelan. "Ne," panggilku. "Salah gak sih kalau gue cinta sama Prasenja? Maksud gue gini, lho. Cinta itu kan fitrah, asal kita bisa menjaga dan menempatkan rasanya itu gak salah, 'kan? Mereka selalu bilang kalau Prasenja itu gak bisa dicintai?"

"Karena Prasenja sakit, itu masalahnya." Yane merespon. "Biarin dia sembuh dulu, dan lo belajar buat perlakukan dia layaknya manusia, Nya. Kalau lo yakin dia bisa berubah, pertahanin. Tapi kalau lo ragu, tinggalin."

"lo yakin gak dia bisa sembuh?" tanya Yane lagi, dan aku tidak menjawabnya. "Tuhan itu hebat, Nya. Jangan perbesar ragu lo dengan kalimat 'gue gak yakin dia bisa sembuh dan berubah' seperti yang gue bilang tadi, kalau lo gak yakin dia bisa berubah dan sembuh, tinggalin."

"gue ... Dari awal gak pernah ragu sama dia." aku berkata sambil menatap langit-langit kamar Yane. "Gue selalu nerima dia, gue selalu memaafkan dia kalau seandainya dia tiba-tiba gak sadar ngelakuin hal itu. Gue gak pernah membahas luka masa lalunya, dan menjadikannya sebagai senjata agar dia gak bisa tinggalin gue. Enggak, Ne. Gue ... nggak akan nahan dia, karena gue juga salah satu alasan kenapa dia gak pernah bisa sembuh. Makannya, gue gak pernah nahan dia meskipun gue ingin."

Yane mengusap-usap bahuku. Sabar, katanya. Perkara meninggalkan itu sebenarnya mudah, yang sulit itu menerima kenyataan, kita akan ingat atau dilupakan olehnya kelak.

Aku tersenyum simpul, merasa makin ingin menangis.

Seseorang cowok, berbadan jangkung, dengan bahu yang lebar. Rambutnya selalu rapih, dan aku selalu menyukai saat dia memakai topi. Cowok itu tidak banyak bicara tetapi pandai memperlakukan seseorang yang disukai dengan istimewa sehingga membuat orang itu nampak begitu berharga. Cowok itu, yang selalu kulihat bermain bola di lapangan komplek bersama dengan teman-temannya, cowok yang tidak pernah suka pedas, dan sangat menyukai instrumental piano. Cowok itu bernama Prasenja, seseorang yang tidak pernah kupercayai bisa membuatku bertekuk lutut menyayanginya.

"Itulah salahnya, Nya." Yane menghela napas lagi seraya mengeluarkan permen lollipop milkita itu dari mulutnya. "Sesuatu yang salah itu harus diperbaiki. Begitu juga penyakit, harus diobati. Tegasin, biarin aja dia inget masa lalunya, siapa tau dengan begitu dia sadar kalau hal yang selama ini dia lakuin itu salah, biar dia sadar kalau selama ini dia itu bersembunyi, dia masih takut, dan dia masih gak punya niat untuk sembuh."

"Prasenja itu keras kepala, Ne." aku menjawab. "Dia gak akan pernah denger omongan siapapun, sekalipun itu omongan gue, orang yang katanya dia sayang."

"Emang lo pernah minta dia buat ke rumah sakit?"

"Sering,"

"And then?"

"Dia marah. Dan setiap kali dia marah gue selalu takut dia ngelakuin itu."

"Gak akan ada ujungnya, Nya. Kalau gini terus, wajarlah kalau Nenek lo ngelarang lo sama dia sekalipun dia itu cucu dari sahabatnya sendiri."

Dan jawaban itulah yang membuatku terdiam. Dalam hati, aku membenarkan kata-kata Yane. Nyatanya memang, aku tidak pernah siap dengan kenyataan yang terlalu menyakiti.

.
.
.
.
.

Ranya [VERSI DIGITAL TERBIT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang