Kuali dan Senyuman Penuh Arti

10.8K 342 21
                                    


PART 1

"Ada apa ini ribut-ribut?" Sekerumun santri ndalem terdengar ramai bergosip di dapur saat aku sedang menaruh setumpuk piring kotor. Mereka tampak terkejut seketika mendapatiku berdiri di ambang pintu.

"Eh ... Ehm anu Ning Isma, ini ...." Naima ketua keamanan tergagap. Yang lain menunduk. Aku menjadi curiga.

Aku yang terkenal garang dan disegani para santri jelas sekarang membuat mereka kelojotan setelah membuat keributan, padahal di depan sedang ada tamu besar abah.

Setelah kuletakkan tumpukan piring kotor ke dalam bak cuci piring, kusilangkan tangan menghadap tajam ke arah mereka. Ini kode, saya keras atau kamu ceritakan sendiri langsung dengan sopan?

Tak lama kemudian, seorang lelaki masuk dapur melalui pintu belakang sambil membawa kuali besar. Dia tersenyum ke arahku, seperti biasa aku mengacuhkannya. Hanya dia, Amar seorang abdi ndalem baru yang berani tanya, menyapa, bahkan senyum kepadaku.

Dia sebenarnya tampan, tubuhnya jangkung dan cukup atletis. Jika kutaksir mungkin tingginya sekitar 180 kurang dikit. Selain tampan, ia juga multitalen, sigap dalam semua pekerjaan ndalem. Cerdas, ambisius, berani dan komunikatif di setiap pelajaran diniyah dan rapat kepengurusan. Tak heran santri-santri sini mengidolakan dan mengajukan kang Amar menjadi salah satu calon Rois tahun berikutnya.

Sekilas kuperhatikan para abdi ndalem yang tadi ribut mengamati gerak gerik Kang Amar lalu menunduk lagi. Kalau begini nggak akan ada yang cerita.

"Mbak Naima dan Mbak Indah tolong ke ruang keamanan." Naima dan Indah menghela napas berat.

Sejurus kemudian mereka menghadapku di ruang keamanan sambil saling sikut.

"Apa yang kalian sembunyikan?"

Kulirik tangan Naima menggenggam sesuatu. Aku yakin itu pasti surat cinta. Memang akhir-akhir ini pesantren sedang gempar dengan banyaknya kasus. Mulai kasus keluar tanpa ijin, sampai kasus pencurian. Keamanan sering tak bisa diandalkan, bahkan mereka malah sekongkol dengan para santri agar tidak menerima hukuman, akhirnya aku sebagai putri Kyai Ali sendiri yang turun tangan. Mana mungkin ada yang berani nyinyir dan meremehkanku, aku putri Kyai Ali berparas cantik dan cerdas.

"Ini Ning ... Kami menemukan ini di almari Kang Amar." Naima membuka bicara dengan nada ketakutan.

"Tapi jangan bilang kalau beritanya dari kami ya Ning?"

Aku mengernyitkan dahi memegang lipatan kertas yang kuduga ini pasti surat cinta. Amar, anak kemarin subuh itu, beraninya dia membuat kasus. Apalagi kasus pacaran, sudah tergolong kasus berat ini, takzirannya dipotong gundul dan membersihkan kamar mandi selama satu minggu.

Kubuka perlahan kertas itu. Terpampang tulisan indah dan rapi.

'Aku sangat bersyukur bisa nyantri disini. Selain bisa menimba ilmu dan mengabdi Kyai, aku mendapat anugerah yang tak terkira indahnya, dia entah siapa yang kecantikannya bak bidadari surga memintaku untuk mengantarnya ke sebuah acara ke sebuah gedung. Setelah kutanya siapa namanya, dia menjawab dengan lembut, Latifa. Nama yang indah, seindah parasnya. Setelah siapa dia sebenarnya, rasanya mustahil jika aku bisa memilikinya. Dia itu bagai intan yang jauh di dasar lautan, sedangkan aku hanya seorang nelayan miskin diatas perahu rotan. Namun jika Allah sudah berkehendak tidak ada yang tidak mungkin bukan?'

Membaca ini seketika wajahku merah padam. Kutatap Naima dan Indah masih tertunduk. Hanya sekilas membalas pandang lalu menunduk lagi.

"Kalian boleh keluar. Aku akan tabayun dulu untuk menentukan takziran yang pantas untuk Kang Amar." Naima dan Indah nampak heran melihatku yang tiba-tiba melunak. Biasanya kalau aku menemukan surat cinta akan langsung berapi-api, lalu bergegas memanggil yang bersangkutan untuk disidang. Lha ini, aku malah menyuruhnya segera keluar.

Tanpa membantah, merekapun keluar dari ruang kemananan setelah mencium punggung tanganku dengan takdzim.

Sungguh kali ini aku tak bisa berpikir jernih. Wanita yang dimaksud Amar dalam suratnya itu adalah aku.

Waktu itu memang aku sangat tergesa-gesa karena mau mengisi sebuah acara seminar di sebuah Gedung Wanita.

Sebelumnya, Kang Mukhlis, supir pribadi abah kupesan untuk mengantarku, tapi tiba-tiba Umi minta tolong diantar ke acara pengajian, jadi aku mengalah dan meminta Kang Amar abdi ndalem baru untuk mengantarku. Beruntung ia bisa nyetir, jadi tanpa babibu, ia pun mengiyakan.

Karena mungkin ia masih baru, belum tahu semua anggota keluarga Kyai. Saat ia bertanya siapa namaku, kujawab saja Latifa, asal saja, kupikir karena keterlaluan tidak tahu siapa aku.

Haduh, kenapa hatiku jadi kebat kebit. Rasanya panas dingin. Sekarang mungkin aku butuh pasokan oksigen lebih banyak.

Bagaimana nanti aku menjelaskan kepada pengurus dan abah jika kasus ini sampai meluas. Beberapa mbak ndalem sudah membaca surat ini, pasti, tidak usah menunggu esok, kabar ini akan tersebar ke seluruh penjuru pesantren Ar-Roudloh.

'Duh Gusti, mana waktu itu aku membalas senyum Kang Amar.'

BERSAMBUNG

Kang Amar Cinta Sang Abdi Ndalem (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang