Day 4

4K 596 17
                                    

Malam berlalu dengan kegelisahan hebat, bagaimana hari ini akan gue jalani. Gue sudah bersiap dengan koper dan sedang berusaha memastikan situasi di dalam apartmen. Jantung gue berdebar kencang ketika gue melangkah keluar dari pintu kamar gue, dengan berjinjit-jinjit menyusuri ruangan sampai ke ruang kerja Ken tapi saat pintu gue buka dan gue intip sedikit dia tampak tidak ada di dalam ruangan.

"Ah . . ." Gue menarik nafas lega, mungkin dia masih tidur. Jadi gue langsung berlari cepat ke kamar kemudian mengambil koper gue dan mengangkatnya dengan bersusah payah menuju pintu keluar. Beberapa menit dari sekarang dan hidup gue akan berubah.

***

Gue berdiri di dalam lift dengan sangat gelisah, karena sebelum gue masuk lift gue sempat menerima pesan dari Edo bahwa dia sudah menunggu dengan mobil berwarna hitam dengan plat nomor yang juga di informasikan. Entah mengapa bayangan wajah Ken ketika tahu bahwa gue tidak berada di dalam rumah, betapa marahnya dia, atau justru dia hanya akan biasa saja.

Ting

Pintu lift terbuka dan gue merasa seluruh sel gue seolah bersiap menghirup udara kebebasan. Gue menarik koper gue keluar dari lift dan betapa terkejutnya gue saat tahu siapa yang berdiri di hadapan gue saat ini. Ken dengan V-Neck dan celana olahraga lengkap dengan bekas keringat di kaosnya. Gue bahkan nggak berpikir kalua dia keluar untuk lari pagi. Oh shitt . . . mengapa gue nggak memperkirakan hal ini akan terjadi diantara kami. Tatapan kami membeku, dan dia jelas tidak senang melihat gue lengkap dengan jaket dan koper di tangan gue. Gue menelan ludah, nggak tahu harus mengatakan apa. Dia menghindar dari hadapan gue, dan gue kembali menelan ludah, ingin sekali menjelaskan semuanya.

"Sorry . . ." Gue menoleh ke dia dan dia mengangkat tangannya, seolah dia tidak ingin mendengar penjelasan apapun dari gue. Melihatnya enggan menatap wajah gue lagi dan memilih masuk kedalam lift membuat gue frustasi, meski akhirnya gue tetap menyeret koper gue keluar dan masuk kedalam mobil Edo yang sudah menunggu sejak tadi.

"Hei." Dia mengulurkan tangannya dan gue menjabat tangan pria itu. Dia kemudian dengan cekatan memasukkan koper gue ke dalam bagasi mobil, kemudian membuka pintu depan untuk gue. Setelah gue masuk dia menutup pintu dan memutar ke sisi kemudi.

"Lo kok bisa nginep di apartment kece kaya gini? Punya kenalan?" Tanyanya sok akrab dan gue hanya membalas dengan senyum kecut, sumpah karena yang ingin gue lakukan saat ini hanya menangis. Kalau nggak nanggis ya setidaknya gue berusaha lebih keras untuk memberi penjekasan, andai gue masih ingin melanjutkan hubungan ini. Tapi hubungan macam apa yang di bangun diatas penderitaan orang lain. Apalagi kedua orang tuanya, yang sudah merawatnya sejak usia tiga bulan juga harus mengorbankan banyak hal demi hubungan kami yang entah bisa berjalan atau tidak.

Edo menyalakan musik dan itu mengganggu pikiran gue, meski gue nggak tahu artinya.

"Lagu siapa?" Tanya gue begitu suara pria dengan Bahasa Korea itu terdengar.

"DJ Shaun." Jawabnya singkat.

"Judulnya?" Tanya gue.

"Way back home"

Sial, beberapa part dalam Bahasa Inggris begitu ngena di hati gue, dan nggak tahu kenapa air mata gue tiba-tiba menetes. Meski sedikit terkejut tapi Edo membiarkan gue menangis tanpa bertanya sepatah katapun.

"Belum terlambat kalau mau balik." Kata Edo kemudian di sela-sela musik yang memenuhi seluruh kabin. Gue justru semakin terisak, karena kata "belum terlambat" itu seolah memberikan gue harapan.

"Gue bisa puter balik di depan." Kata Edo.

"Nggak . . ." Gue jawab singkat dan dia berdehem.

"Sebenernya gue nggak berhak ikut campur, tapi asal lo tahu. Penyesalan terbesar dalam hidup gue itu karena gue nggak bisa jadi kakak ipar lo."

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang