Bali - Part II

4.8K 619 23
                                    

Sial kuadrat, saat gue mwnghindar dari si bos dan wanita itu, gue juatru bertemu Edwin dan Wina istrinya. Rupanya Ed sudah berbaikan dengan Wina dan justru mengajak isterinya itu menginap di hotel.

Tatapan Wina ke gue jelas bukan tatapan menyenangkan mengingat dia tahu siapa gue dan apa hubungan gue dengan suaminya, meskipun hanya mantan pacar. Ed pun sama dengan Mr. Ken, dia seperti domba yang di cukur bilunya tapi tidak mengembik. Meski jarak mereka duduk dan tempat gue berdiri cukup jauh, tapi gue bisa melihat dengan jelas tatapan rivalitas yang dilemparkan Wina ke Gue.

Escape plan, saat itu kebetulan seorang pria asing berjalan mendekati gue dan bertanya tentang club malam terdekat. Gue langsung gandeng tabgannya dan bilang akan nunjukin club itu. Kami berjalan melewati Ed dan Wina, sementara tatapan mereka jelas keheranan melihat gue menggandeng seorang bule.

Gue memilih untuk keluar dari area hotel dan berjalan menyusuri jalanan tanpa jelas mau ke mana. Sampai ai bule menanyakan dimana club malam itu fan gue meringis, gue juga nggak tahu. Tapi gue mengajaknya bertanya pada seorang supir taksi yang kebetulan berhenti di area depan hotel. Dan supir raksi itu mau mengantarkan si bule.

Ah, . . .

Setelah masalah dengan si bule selesai, gue memilih untuk menyusuri jalanan yang masih ramai itu. Yang gue tahu adalah Bali hampir seperti Jakarta yang tidak pernah tidur. Banyak turis mancanegara yang menikmati keindahan Bali di malam hari.

Beberapa kenangan waktu kecil bareng mendiang bokap berterbangan di ingatan, betapa kami sangat akrab, dan bokap akan jadi orang pertama yang menyelamatkan gue dari keisengan kakak dan abang gue, juga dari omelan nyokap.

Tapi sejak gue beranjak dewasa gue sedikit jauh dari bokap, awalnya karena pemikiran kami yang bersebrangan. Gue yang mati-matian pengen kuliah di Jogja demi bisa deket dengan pacar gue yang kebetulan diterima di salah satu PTN di Jogja, sementara bokap memaksa gue untuk kuliah di UI.

Akhirnya gue kuliah di UI, ambil jurusan ekonomi, demi bokap. Tapi hampir tiga setengah tahun itu gue marah ke bokap, karena setelah kami sama-sama aktif di perkuliahan, gue di putusin, dan gue menyalahkan bokap atas semua kejadian itu dan kejombloan gue beberapa tahun.

Tapi sekarang gue nyesel sih, apa jadinya gue kalau tetap nekat kuliah di Jogja?  Karena yang gue denger dari alumni SMA, mantan gue itu nggak kelar kuliahnya, dan akhirnya nikah sama temen sekelasnya karena hamil duluan. Dan setahun pasca pernikahan itu, dia nikah untuk kedua kalinya dengan janda kaya dan ninggalin anak isterinya. Coba kalau gue tetep jalan sama dia, mungkin gue akan jadi emak-emak berdaster dengan banyak anak dan di tinggalin laki gue demi perempuan laun yang lebih cantik.

Gue berhutang banyak kata maaf dan terimakasih sama bokap. Karena pasca semua itu, gue berpura-pura bahwa semua nggak pernah terjadi, ketegangan selama bertahun-tahun di antara kami. Andai gue sempat bilang maaf ke bokap.

Bener kata orang, selagi orangtua masih hidup, maka bahagiakan mereka. Karena kebahagiaan mereka adalah melihat anak-anaknya hidup baik, lebih baik dari hidup mereka.

Dan andai bokap masih ada, dia pasti jafi orang pertama yang bilang "Kalau gue nggak boleh jadi perempuan cengeng".

Ah, semakin campur aduk karena kejadian di depan lift tadi. Wanita anggun, mempesona yang melilitkan lengannya dengan kuat ke lengan si bos, dan si bos tampak begiti tunduk pada wanita itu.

"Arimbi, siapa lo sampai berhak kecewa sama bos lo?" Pertanyaan itu muncul mendadak, membuat gue berpikir bahwa apa yang gue rasakan adalah salah.

Pim Pim

Klakson mobil itu menarik perhatian gue, karena terlalu dekat rasanya dengan tempat gue berjalan. Gue menoleh dan sedikit terkejut dengan si pengemudi mobil.

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang