The Night Before

4.6K 672 48
                                    

Gue baru sampai Singapore dan langsung menuju kediaman keluarga Ken. Tidak ada kesempatan untuk istiraha karena gue langsung disambut oleh perancang gaun pengantin dan mencoba lima gaun berbeda, dan kesemua prosesnya memakan waktu dua jam. Setelah itu, gue baru boleh makan dan mendapat pijatan paket spa lengkap dengan berendam susu murni.

Dan setelah semua rangkaian itu, kini gue gelisah berada di sebuah kamar besar sendirian. Keluarga gue sudah di hotel, dan Ken belum menampakkan batang hidungnya sejak gue tiba di Singapore. Dia bahkan hanya mengirim pesan singkat bahwa dia sudah mencoba tuxedonya dan saat ini masih rapat dengan dewan direksi di perusahaan ayahnya yang dia akuisisi sekarang.

Meski gue sudah meringkuk di ranjang, tapi mata gue enggan terpejam. Akan seperti apa hari esok untuk gue masih abu-abu.

Tok Tok

Terdengar suara pintu di ketuk, dan gue segera siaga. Gagang pintu ditarik dari luar dan pintu sedikit terbuka, yang bisa gue tangkap hanya bayangan seseorang berdiri di ambang pintu karena ruangan tempat gue berada sudah gelap. Seseorang berjalan masuk dan gue menarik selimut lebih tinggi. Jantung gue berdebar kencang, dan gue mulai ketakutan karna orang itu menutup kembali pintu di belakangnya dan berjalan mendekat ke arah gue. Seketika gue menyalakan lampu tidur dan membuat ruangan sedikit terang, gue segera menghambur ke pelukan pria yang berdiri di hadapan gue begitu gue bisa melihat wajahnya.

"Hei . . ." Dia memeluk erat tubuh gue dan gue menangis di pelukannya, sesenggukan.

"Hei . . ." Dia meraih wajah gue dan menghapus air mata gue. "Kenapa nangis?" Tanyanya.

"I don't know." Gue menggeleng. "May be just little bit nervous."

"Don't be." Dia tersenyum menatap gue. "Kamu menginginkan pernikahan ini juga kan?" Tanyanya dan gue hanya bisa menelan ludah. Di satu sisi gue menginginkannya, tapi di sisi lain, gue takut menghadapi banyak hal yang berbeda di antara kami kelak.

"Look . . . I love you more then everything. Apa yang kamu takutkan? Semua sudah dipersiapkan dengan sangat baik. "

"Saya takut nggak bisa membahagiakan kamu." Mata gue kembali berkaca.

"Saya nggak butuh apa-apa, saya hanya butuh kamu." Katanya.

"Seep tight. Kita akan ketemu besok pagi."

"Don't go." Entahlah, kali ini gue benar-benar merasa sangat ketakutan, nggak pengen dia tinggalkan barang setikitpun. Dia tersenyum menatap gue. "You don't want to let me go?" Dan gue mengangguk, kemudian dia menarik gue dalam gendongannya dan membawa gue ke ranjang. Membaringkan gue dengan perlahan dan penuh cinta. Kemudian dia berjalan ke sisi lain ranjang masih dengan sepatu dan kemeja putih yang dia kenakan sepanjang hari.

Dia berbaring di sisi gue berbaring, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia menyentuh layar ponselnya dibawah tatapan gue, kemudian dia meletakan ponselnya di antar abantal gue dan bantalnya.

Perlahan suara musik terdengar dari ponsel yang tergeletak.

"LAUV?" Tanya gue begitu mendengar suara penyanyi pria melantunkan lirik lagu berjudul "I Like Me Better"

Dia menatap gue kemudian tersenyum, meraih rambut gue dan meletakkannya di belakang telinga gue. "I like me better when I'm with you." Katanya dan gue hanya bisa tersenyum. Berbaring di sisinya menjadi sesuatu yang janggal saat ini.

"Masih khawatir?" Tanyanya lagi dan gue mengangguk.

"Saya sudah melakukan pemeriksaan lengkap dan tidak sedang menderita penyakit apapun, tekanan darah normal, jantung sehat, semua bahkan termasuk hal yang paling pribadi, semua sehat dan siap di gunakan pada waktunya." Katanya sambil tersenyum, jelas sekali itu betuk candaan yang dia gunakan untuk memperbaiki suasana hati gue.

"It's not funny." Gue sama sekali nggak lagi pengen becanda saat ini.

"Hei . . ." Dia mengkerutkan alisnya. "Atau kamu mau semua persiapan di tunda?"

Dan mendadak gue melihat sorot matanya memudar, dan ekspresi wajahnya juga berubah.

"No . . . no . . . no" Gue segera meraih tangannya dan meremas tangan lembut itu.

"Saya tidak ingin memaksa kalau kamu memang tidak siap. Saya mau semua orang bahagia terutama kamu, kalau yang bahagia hanya saya untuk apa pernikahan ini." Dia menarik tangannya kemudian memutar posisi dan menghadap ke langit-langit.

"Saya nggak pernah berpikir bahwa saya akan secepat ini memutuskan untuk menikahi seorang wanita." Katanya dalam keheningan yang mengakutkan diantara kami.

Tak lama musik berganti, suara seorang wanita menyanyikan lagu berjudul "Mine" dari Bazzi.

"I don't wanna waste no time." Dia menoleh ke arah gue. "Ok." Gue mengangguk.

"Come."Dia meminta gue mendekat dan gue mendekat, tepat setelah dia memindahkan ponselnya, mematikan ponselnya dan kemudian menggulung gue dalam pelukannya. Aroma parfum dan keringatnya bercampur membuat sensasi yang begitu unik dan entah mengapa gue jatuh cinta dengan aroma ini.

"You smells good." Gue berbisik di telinganya dan setelah dia mengatakan betapa dia tidak ingin membuang waktu untuk segera memiliki gue, setidaknya gue punya jaminan bahwa perasaannya tidak akan secepat itu memudar terhadap gue.

Dia tersenyum kemudian menjawab meski matanya sudah terpejam "Dan kamu bisa menikmatinya sesering yang kamu mau setelah besok."

"Nervous." Bisik gue.

"Why?" Dia membuka matanya kemudian menatap gue dengan sorot mata yang segar, sepertinya dia tidak mengantuk, dia hanya ingin menutup mata saja.

"Saya akan jadi pria yang sama seperti yang pernah berbaring di ruang tidur tamu, ketika kita tinggal di rumah saya. Saya juga akan jadi pria yang sama dengan pria yang berbaring di sisi kamu malam ini. Tidak ada yang akan berubah, dan tidak akan ada yang bisa menyentuh kamu tanpa seijin saya, termasuk mama saya."

"Saya bukan guci antik yang jika di sentuh akan pecah. Justru perlakuan berlebihan ini yang membuat saya takut."

"Tidak ada yang berlebihan, semua sudah di buat sesederhana mungkin agar kamu nyaman."

"Termasuk memberikan lima pilihan gaun pengantin dan empat kali berganti gaya rambut, dua belas pasang sepatu bermerek?"

Ken tersenyum "Sorry."

"Kurasa kita harus tidur, atau besok kita berdua akan terlambat untuk acara pernikahan kita sendiri."

"Kadang saya berpikir, apakah kamu benar-benar manusia?" Tanya gue.

"Kenapa?"

"Sempurna, punya segalanya, . . . semua manusia memiliki sisi gelap. Apakah ada yang belum saya tahu tentang kamu?" entahlah, tiba-tiba pertanyaan itu yang keluar dari mulut gue.

Sorot matanya surut, dia tampak menarik nafas dalam. "Apa ada sisi yang lebih gelap dari pada seorang bayi berusia tiga bulan yang ditinggalkan sendirian dengan kondisi kelaparan dan hampir mati?"

Seluruh tubuh gue terguncang oleh gelombang rasa bersalah, mengapa harus menanyakan hal itu ke dia.

"Sorry. . ." Bisik gue dalam pelukannya, dia tidak menjawab, dan setelah itu yang terdengar hanya hembusan nafas kami yang bersahut-sahutan dan hilang dalam gelapnya malam.

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang