Team

5.4K 663 13
                                    

Pagi ini gue sengaja berangkat pagi karena dapet notif kemarin sore untuk dating agak lebih pagi dari si bos langsung. And you know what? Gue terbengong-bengong begitu masuk kedalam ruangan. Gue bahkan berpikir mungkin saja gue salah lantai, dan sempet berpikir untuk memastikan.

"Kenapa bingung ya?" Gue terperagah melihat bos gue dateng dari tempat yang gue bahkan nggak menyadarinya sama sekai, gue nggak tahu dia berdiri di mana tadi.

"Bingung?" Tanyanya.

"You made it sir?" Gue masih nggak percaya.

"Not by my self exactly." Dia tersenyum miring. "What do you think?" Imbuhnya.

"Crazy amazing."

Semua di kerjakan hanya dalam waktu dua hari, Sabtu dan Minggu, ini gila banget sih. Dan setelah bos gue meninggalkan gue dan masuk keruangannya gue menuju meja gue, yang sempet gue piker itu nggak seperti meja gue. Karena biasa meja itu bertengger sendirian di luar ruangan bos gue dan sekarang ada sekitar lima cubicle lain di situ. Ini berarti gue bakalan punya temen di ruangan ini, selain ruang meeting yang biasanya harus naik satu lantai atau turun satu lantai, sekarang ada di lantai ini. Dan ini beneran perwujudan Green office yang sesungguhnya selain instruksi bos soal go paperless di hari jumat kemarin.

***

Jam delapan lebih sepuluh menit, sekitar delapan orang berdatangan dan duduk di meja oval, beberapa yang gue kenal adalah Maria, Vincent, Ghea, Noordin, Abdul dan Edwin, oh shit, pagi hari, dan ini masih hari Senin dan kesialan gue sudah di mulai dengan bertemu Edwin. Dan sialnya lagi, semua cubicle itu terbuat dari partisi kaca, so I can't hide even my nose. Dan lebih sial lagi Edwin memilih untuk duduk di tempat yang kontras dengan cubicle gue, memungkinkan dia punya akses penuh untuk melihat gue dan apa yang sedang gue lakukan ,termasuk kalau gue lagi ngupil dia akan melihatnya.

"I'm waiting for you on a meeting desk, ten minute by now." Tulis bos gue dari local chat.

"Yes Sir." Jawab gue, dan dengan segera gue menyelesaikan sisa pekerjaan Jumat kemarin dan mengirimnya by email. Saat gue selesai, ternyata di meja oval itu juga sudah ada bos gue, dan dengan ragu-ragu gue mengambil posisi duduk di satu-satunya kursi yang tersisa, yaitu di antara Edwin dan bos.

Hufttt . . . .

"Ok, kita mulai." Bos membuka suara.

"Perusahaan akan mengadakan rapat umum pemegang saham yang akan dihadiri juga oleh direktur-direktur dari setiap negara perwakilan dari delapan negara di Bali pada tanggal duapuluh Sembilan sampai dengan tigapuluh satu." Bos membuka satu kalimat dan sudah tergambar jelas maksud dari meeting ini, intinya adalah "kerjaan"

"Diluar job desk kalian, tapi ini penting, panitia ini dibuat untuk menyelenggarakan even itu. Kita akan bekerjasama dengan EO terkait dengan venue, hotel dan akomodasi, jadi yang kalian lakukan adalah bertanggung jawab untuk masing-masing bagian."

Kami semua mendengarkan dengan saksama.

"Semua rincian sudah ada dalam email yang saya kirimkan pagi ini ke email masing-masing, jadi di sini hanya akan kita bahas garis besarnya saja."

"Maria dan Vincent akan bertanggung jawab pada proses akomodasi, penjemputan di airport dan check in hotel. Tugas paling penting adalah memastikan kenyamanan setiap tamu dan memenuhi semua yang mereka butuhkan, beberapa dari mereka "very old" jadi mungkin mereka akan punya banyak daftar permintaan untuk akomodasi dan penginapan."

"Lanjut, Ghea, Abdul dan Noordin masing-masing akan bertanggung jawab pada keamanan pada saat penyelenggaraan rapat umum dan pada saat gala dinner di tanggal tiga puluh. Dan untuk Edwin dan Arimbi akan ikut saya besok pagi ke Bali untuk bertemu EO dan memastikan semua venue dan persiapan." Tutup bos.

Gue? dan ed? Ini bentuk kesempurnaan kesialan gue hari ini.

Tidak ada yang membantah, semua mengatakan "siap kecuali gue, gue hanya diam, tidak menjawab. Dan setelah rapat ini selesai semua orang bubar kecuali gue yang masih duduk di meja bundar itu sendiri, berpikir bagaimana caranya gue menghindar dari tugas berat ini?

***

Jam tiga sore dan gue masih memikirkan soal besok pagi harus ke Bali bareng mantan, oh come on. . . Akhirnya gue memberanikan diri untuk menghadap bos dan mengatakan keberatan gue.

"Excuse me Sir." Gue memastikan bos gue menerima kehadiran gue di dalam ruangannya dan dia memberikan isyarat untuk gue masuk dan gue melakukan itu.

"Have a sit."

"Thanks."

"Ada apa?" Tanyanya sesaat setelah gue duduk.

"Maaf, tapi soal besok pagi Sir, bisakah saya tidak ikut?" Tanya gue ragu.

"Kenapa?"

"Em . . ." Nah ini dia yang gue nggak tahu harus kasih alasan apa.

"You don't wanna go because Edwin is your ex boyfriend, I know it. But we talk about job and this is far away from your personal life that I don't really care. Be professional Bi."

"Ok." Doi bahkan tahu kalua Edwin itu mantan gue, dan satu kalimat terakhir soal professionalitas, itu yang nggak bisa gue bantah. Well mungkin ini saatnya gue menantang diri gu sendiri untuk bisa bekerja professional meskipun dengan mantan.

Gue pamit dari ruangan bos gue dan keluar menuju meja gue. Teringat akan obrolan gue waktu masih baru-baru deket sama Edwin dan kakak gue menasehati "Jangan pacarana satu kantor deh, kelar hubungan lo, kelar juga karir lo kalau nggak bisa professional, karena hari-hari lo setelah itu hanya akan jadi neraka." Dan saat ini gue sedang menikmati berkubang didalam neraka gue, sial pangkat sembilan pokoknya.

Sepanjang sisa hari gue, meski gue mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan, pikiran gue masih aja terganggu dengan urusan ke Bali bertiga sama bos dan Edwin. Makan siang gue sengaja nggak makan di tempat cik Ma, meski gue lagi pengen choi pan, karena Edwin ternyata makan di sana. Akhirnya gue melipir ke tempat mang Akhong buat beli nasi goreng yang baru gue suap tiga suap dan nggak gue makan dengan alasan kepedesan.

Gue balik ke ruangan dan gue melihat si bos lagi didalam ruangannya dengan seorang wanita yang gue nggak tahu sejak kapan dia datang. Mereka tampak mengobrol dan si wanita bahkan tampak tertawa beberapa kali meski gue nggak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dan tawa si wanita juga alasan mengapa dia tertawa.

Bos sempat menyadari kehadiran gue dari dalam ruangannya dan tak lama di local chat terdapat satu pesan darinya, intinya dia meminta gue membawakan satu cangkir kopi ke ruangannya dan itu gue lakukan.

Ketika gue masuk kedalam ruangannya dan meletakkan kopi itu di meja, tepat di hadapan si wanita, dia tampak menatap gue dengan tatapan aneh, seperti nggak suka dengan kehadiran gue. Eh helo, gue cuman di suruh bawain kopi doang, apa urusan dia nggak suka sama gue?

Dan nggak lama setelah gue duduk di meja gue, wanita itu melintas di hadapan gue diikuti bos gue, dan ketika mata kami bertemu, dia kok seolah menunjukan tatapan rivalitas ke gue. Apaan sih?

"See you tomorrow Ken" Dia mencium pipi kanan bos gue dan bos gue tidak bergerak, masih berdiri dengan tangan tersarung di kedua sisi saku celananya.

"See you tomorrow." Jawab bos gue dan wanita itu meninggalkan kami berdua dialam ruangan besar, bos gue berbalik dengan kikuk karena mungkin dia nggak menyangka gue akan jadi saksi bisu ketika bibir penuh wanita yang lengkap dengan gincu merah itu mendarat di pipinya. Tenang bos, gue nggak akan bilang siapa-siapa, batin gue. Dan dengan canggung dia berjalan melewati meja gue menuju ruangannya.

Hi reader

jangan lupa like dan komen ya,

di tunggu komentar dan likenya, dan kalau ada yang punya masukan membangun untuk cerita ini, author tunggu banget lho

thanks ya sudah mengikuti ceritanya.

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang