Akward

6.1K 616 14
                                    

Akhirnya gue jalan sama Ferdinand hari ini, mengingkari semuanya, mencoba mencari tempat berpijak yang lebih stabil, tempat bernaung yang lebih kokoh. Sebagian orang "mengharamkan" pelarian dan gue sepakat, Ferdinand bukan pelarian. Kami hanya mencoba mengisi ruang kosong di antara kami, untuk diri kami masing-masing, semacam teman, meski gue sadar betul, diantara cowok dan cewe nggak akan ada perasaan senetral itu.

Kami makan bareng, ngobrol banyak hal, soal hal-hal yang nggak penting dan Fer mengantar gue balik. Tapi ditengah jalan kakaknya telepon minta di bawain martabak dan dianter ke apartmentnya, soalnya lagi ngidam. Dan gue mengalah memilih untuk ikut Ferdinand anter martabak dulu buat kakaknya.

"Sorry, kami harus ikutan jadi kurir martabak." Fer tersenyum sungkan.

"Santai aja." Kami sudah semakin akrab sekarang.

Ting

Pintu lift terbuka dan seseorang masuk, sial, ini kan bos baru gue. Dia seolah nggak mengenal gue gitu, dan berdiri tepat di depan kami, sementara Ferdinand tidak menyadarinya, karena dia sibuk dengan ponselnya.

"Bi tadi menu baru di resto yang kita makan lumayan lho, kapan-kapan balik lagi ke sana ya." Ferdinan berbicara setelah memasukan ponsel kedalanm saku celananya.

"Em" Gue tersenyum sekilas.

Tak berapa lama pintu lift kembali terbuka di lantai sembilan dan Ferdinand menarik tangan gue. Sekilas gue melihat pandangan bos baru gue menatap ke arah kami seklias tapi kemudian kembali lurus kedepan.

Kesimpulan, Bos gue kemungkinan besar tinggal di apartment ini. Kalau nggak ngapain dia hampir jam dua belas malem masih ada di apartment orang? Pasti dia tinggal di sini, tapi unitnya di lantai berapa?

Kedua, kami sudah saling memperkenalkan diri, dan gue nggak yakin ingatannya seburuk itu. meskipun kami baru bertatap muka sekali, tapi harusnya dia tahu kalau gue adalah PA (personal asistance) nya mulai sekarang.

"Kenapa Bi?"

"Enggak." Gue bergidik, karena sepanjang perjalanan kami setelah dari lift, konsentrasi gue menguap entah kemana. Kami sampai di unit apartment kakaknya Fer, dan you know what, yang buka suaminya, cuman ambil martabak terus ditutup lagi pintunya, katanya istrinya jadi kolokan, nggak mau ditinggal barang sebentar, dan kami maklum.

***
"Kebayang nggak gimana kalau kamu yang ngidam?" Goda Ferdinand.

"Kayanya bakalan lebih parah." Kelakar gue.

"Oh ya, sampaikan pwrmintaan maaf ke mama kamu, anter kamu pulangnya sampai kemaleman." Katanya.

"Udah ngabarin nyokap kok tadi. By the way, thanks for the ride, . . . and em . . . for the dinner too."

"My pleasure."

"Bye."

"Oh ya, besok saya harus ke Singapore sekitar semingguan. Setelah saya pulang mungkin bisa kita arange buat ketemuan lagi." Imbuhnya sebelum gue melepas seat belt.

"Ok." Gue tersenyum setuju, dan kemudian melepas seat belt dan turun dari mobil Ferdinand. SUV hitam mengkilap itu segera memutar dan meninggalkan gue yang masih berdiri di situ.

Ada semacam perasaan bahagia, karena Ferdinand orang yang sangat fair. Dia tahu bahwa gue adalah perempuan yang hatinya masih berdarah-darah, meski dia tidak memaksa gue membahas siapa yang pernah menyakiti gue tapi dia bilang " I'm not offering something to you, but I can be a good listener"

Karena bagi sebagian besar kaum hawa, terkadang yang dibutuhkan bukan solusi untuk permasalahan yang dihadapi, mereka hanya butuh pendengar yang baik. That's all.

"Ok jadi we can be such as speaker and listener nih?" Seloroh gue.

"Apapun yang penting kamu nyaman."

Datang, tidak menawarkan apapun, bersedia menjadi pendengar, dan siap memberi kenyamanan, gimana gue bisa menolak.

"But please, jangan ada buket bunga lagi di antara kita." Imbuh gue tadi.

"Nggak mau masuk, ud malem banget nih." Gue terlonjak dari lamunan oleh suara nyokap.

"Mamah, ngagetin." Gue berbalik dan buru-buru masuk rumah.

"Banyak yang nana mau tanya ke kamu."
cecar nyokap di belakang gue.

"Not to night ma, Bi mau istirahat, kita bahas lain kali." Gue tersenyum dan meninggalkan nyokap di lantai satu, menuju kamar gue di lantai dua.

Setelah membersihkan diri fue bergegas menghambur ke tempat tidur, masih sempat membalas beberapa chat dari Ferdinand, sampai akhirnya gue terlelap.

***
Morning

New boss, such as a new life, right?

Gue sengaja berangkat pagi, menyiapkan beberapa berkas kontrak yang akan difinalkan hari ini. Dan limabelas menit kemudian bos baru gue melintas d hadapan gue.

"Morning Sir." Sapa gue.

"Morning" Jawabnya sambil terus berjalan menuju ruangannya. Dan begitu dia masuk, gue mengetuk pintu ruangannya.

"Excuseme Sir, do you want to drink something." gue menawarkan minuman, karena gue nghak tau apa selere bos baru gue.

"Double shoot Espresso, no cream no sugar."

"Ok, just wait a minute."

Gue berjalan ke pantry dan menyiapkan semua yang dia minta. Dan dengan cangkir kopinya gue kembali ke ruangan bos gue.

"Your coffee." Gue meletakan kopinya di meja sementara dia sibuk menatap layar laptopnya.

"Thanks. . . Oh ya . . I can speak Bahasa preaty well." Dia mengalihkan pandangannya ke gue.

"Em, Sir. Yang kemarin itu bukan siapa-siapa saya." Gue hanya nggak mau bos gue mikir aneh-aneh gara-gara lihat Ferdinand kasih gue buket bunga d kantor.

"Soal?" Tanyanya sedikit bingung.

"Soal saya dikasih buket bunga di lobi kemarin."

Dia tersenyum, "For your info, I'm never interesting to know anything about you, and your personal life. But I'll be thankfull if you keep profesional. That's all."

"Yes sir." Malu banget gue, sumpah gue malu banget. Rasanya pengen kabur dari tempat ini.

"Ok kamu boleh keluar."

Sialan, setelah sepanjang pagi gue memikirkan tentang "klarifikasi" soal gue dan Ferdinand, ternyata dia malah sama sekali nggak peduli. Oh my gosh. Gue langsung ngibrit keruangan gue dan menyembunyikan muka gue di balik laptop. Segera ngacak-acak berkas adalah salah satu cara pelarian yang paling pas gue lakukan sekarang.

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang