BRIANA - 1

15K 1.1K 10
                                    

Aku berjalan sedikit tergesa ketika salah satu suster memintaku agar menghadap dokter Ridwan, dokter senior di rumah sakit ini.

“Dokter memanggil saya?” tanyaku ketika telah di persilahkan masuk pada ruang khusus milik dokter Ridwan.

Dokter Ridwan mengangguk dan menutup berkas yang sedang di bacanya, fokusnya di tujukan padaku, beliau melipat kedua tangannya di atas meja.

“Silahkan duduk, Na” titah beliau dan aku mengangguk kemudian menduduki kursi yang tersedia berhadapan dengan kursi kerja dokter Ridwan.

“Anak kenalan saya kecelakaan, dan dia lumpuh tapi tidak permanen, pasti kamu tau” kata Beliau dan aku langsung mengangguk.

“Saya ingin minta tolong sama kamu, untuk menjadi perawat pribadinya sampai dia benar benar sembuh”

***

Diam-diam aku menatapnya dari kejauhan, Will tampak kesepian walau ada aku di sekitarnya, aku sangat tau perasaannya.

Ketika dokter Ridwan “menitipkan” William padaku, kondisinya lebih buruk dari ini, kecelakaan yang merenggut Tunangannya jelas membuatnya bagai mayat hidup.

Aku bahkan tak melihat semangat hidup di matanya ketika kami bertemu di rumah sakit beberapa minggu yang lalu.

“Will.. kamu harus mandi” tegurku padanya yang lagi lagi melamun menatap jalanan kota yang masih sama padatnya seperti biasa.

Aku harus ekstra bersabar.

“Kamu bantu aku ke kamar mandi aja, aku mau mandi sendiri” sedikit banyak dia sudah mau berbicara denganku atau dengan Rey, supir pribadi yang di utus keluarganya membantu Will selama masa penyembuhan, selain itu dia hanya diam bagai patung.

“Oke, asal jangan kamu kunci pintunya, nanti aku nunggu di luar” kataku setuju, diapun mengangguk atas persyaratan yang ku ajukan.

Aku membantunya membukakan pakaiannya.

Awalnya, aku sempat canggung melakukan itu, apalagi tubuhnya yang luar biasa membuatku agak sedikit gugup.

Selama ini aku hanya merawat lansia, dan ini adalah pertama kalinya dia merawat pria dewasa yang matang seperti Will.

***

Sore ini William meminta untuk jalan jalan di taman, dan aku hanya bisa mengangguk antusias, karena untuk pertama kalinya dia mau keluar dari apartemen selain untuk ke rumah sakit.

Aku hanya duduk di kursi besi taman di bawah pohon yang cukup besar, dan dia duduk di kursi rodanya, menatap anak-anak yang berlarian saling mengejar satu sama lain.

“Beberapa bulan yang lalu aku hampir memiliki anak” suaranya terdengar datar begitu juga dengan wajahnya.

Aku menoleh menatapnya yang masih menatap lurus ke depan.

“Olive sedang hamil waktu itu, mungkin kalau dia masih hidup dia akan melahirkan sebentar lagi” lanjutnya tanpa peduli aku merespon atau tidak.

Aku dapat melihat wajahnya tampak sedih.

Tuhan…. Mungkin aku juga tidak akan sangup jika berada di posisinya, kehilangan kekasih yang amat sangat di cintai sekaligus calon anak mereka.

“Kenapa waktu itu tidak aku saja yang mati?” pertanyaannya membuatku terkejut.

“Will…” tegurku.

Dia menoleh padaku, wajahnya masih sedater biasanya.

“Kamu fikir dengan kamu meninggal waktu itu dan membiarkan dia hidup apa dia akan baik baik saja? Apalagi ada calon anak kalian di kandungannya, dia akan jauh lebih terpuruk Will”

***

Setelah aku mengatakan kalimat tersebut padanya, Will masih diam bahkan ketika kami sudah sampai di apartemen.

Aku membantu Will membersihkan diri dan menyiapkan makan malam untuk kami, juga Rey.

Aku selalu meminta Rey untuk ikut makan malam dengan kami, walaupun aku tau keluarga Will pasti sudah memberikan fasilitas lebih pada pria itu.

Aku hanya menghindari kecanggungan yang mungkin akan tercipta di antara aku dengan William.

“Ada apa dengannya?” Tanya Rey ketika aku tengah mencuci piring bekas makam malam kami, Will meminta masuk kamar lebih awal dari biasanya.

“Dia ingin menggantikan posisi tunangannya saat kecelakaan itu” jawabku dengan pelan agar tak terdengar oleh Will yang mungkin masih terjaga.

Ekspresi Rey sama terkejutnya denganku ketika aku mendengar ungkan itu tadi sore.

“Aku hanya menegurnya, dan nampaknya dia tersinggung” lanjutku dengan nada yang sama seperti sebelumnya.

“Mungkin kalau aku diposisinya, aku juga akan berfikiran hal yang sama” kalimat Rey membuatku menoleh spontan padanya.

Ku hela nafasku pelan, aku mengelap tanganku yang masih basah.

“Lalu… apa kalian fikir tunangan kalian akan baik baik saja?”

Semoga kalian suka sama cerita ini.
Happy Reading and Enjoyyyyy

BRIANA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang