BRIANA - 17

6.8K 788 6
                                    

“Bibi Margareta” aku memanggil wanita tua yang masih tampak segar yang berdiri tak jauh dariku, beliau berdiri memunggungiku.

“Ana, ya Tuhan” Bibi Margareta berseru pelan sebelum akhirnya memelukku, Bibi Margareta adalah adik dari ayahku yang sudah meninggal bertahun tahun yang lalu.

“Kau apa kabar Nak?” Tanya Bibi Margareta dengan suara lembutnya, wajahnya yang sedikit mirip dengan Ayah membuatku merindukan mendiang pria cinta pertamaku itu.

“Aku baik, Bi” Bibi Margareta membawaku ke salah satu tempat duduk yang kosong, niat hati ingin berbelanja selama William bersama dengan Rain harus ku tahan terlebih dahulu.

“Kenapa Bibi ada disini?” tanyaku padanya, kediaman’nya begitu jauh dari Berlin dan apa yang membawa wanita tua itu ke kota besar ini.

“Hanya menghabiskan waktu liburan, bersama Leony dan George” Leony adalah anak beliau yang paling kecil, usianya mungkin hanya terpaut beberapa tahun di bawahku, sedangkan George adalah suami beliau.

“Ohh” aku tak tau apa yang harus ku katakan.

Keluarga wanita tua ini begitu sempurna, Leony dan Jimmy mendapatkan kasih sayang yang luar biasa, dan terkadang aku merasa iri pada anak bibi Margareta.

“Mama” suara Leony yang memanggil Bibi Margareta, kami menoleh kearah Leony yang tengah menenteng paper bag dengan tulisan brand terkenal di luarnya.

“Mama di cariin malah duduk disini” Leony menggerutu pelan, dan nampaknya belum menyadari keberadaanku.

“Mama ketemu sama Briana, jadi Mama ajak mengobrol” mata Leony langsung beralih dan menyorot tajam ke arahku, aku menghela nafas pelan ketika merasakan aura kebencian yang begitu kental menyelimuti kami.

“Ayo pergi, Ma”

***

Brandenburg, 2007

Aku meremas tanganku gugup ketika satu persatu teman sekelasku naik ke atas panggung, ku baca berulang kali naskah puisi yang di berikan oleh guruku.

Ini adalah pertama kalinya aku naik ke atas panggung setelah memasuki Junior high school, ku pandangi bangku yang sengaja di kosongkan untuk orang tua siswa, dan kusi kosong itu untuk Ayah yang di harapkan datang.

Aku menghela nafasku ketika namaku di panggil agar segera menaiki panggung.

Puisi berjudul ‘Ayah’ ini ingin ku tujukan pada Ayah, aku begitu senang ketika mendapatkan peran untuk membacakan puisi, namun sayang sekali Ayah tak hadir bahkan sampai aku menyelesaikan berbait-bait puisi dengan hati terluka.

Aku membenci ayah.

“Bagus nak, kau membacakannya dengan baik” Ibu berjongkok di depanku karena tinggi badanku yang lebih pendek dari pada teman sebayaku.

“Kenapa Ayah tidak datang, Bu?” tanyaku dengan suara jengkel, aku menahan tangis sejak aku masoih berdiri di atas pangung.

“Ayahmu sibuk, ibu sudah menelfonnya tadi, dia sudah melihat penampilanmu, Ibu mengirimkannya Video” aku menggeleng dan air mataku mulai turun secara perlahan.

Bukan itu yang aku inginkan, aku menginginkan sosok Ayah yang sesunguhnya, yang nyata ada untukku.

Semenjak posisi kerja Ayah naik, ayah semakin tak memiliki waktu. Ibu senang dengan posisi ayah sekarang ini, karena Ayah menghasilkan banyak uang untuk kami, katanya.
Namun aku membenci Ayah karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Aku segera mengambil tas gendongku dan keluar dari backstage, menuju mobil Ibu yang terparkir tak jauh dari pintu keluar.

Ibu menyusul beberapa saat kemudian.
Ketika kunci pintu mobil di buka, aku langsung masuk dengan wajah yang luar biasa kesal.

“Ayah cari uang buat kita” aku langsung mendelik ke Ibu.

“Buat Ibu, bukan buat Aku”

***

“Aku benci ayah” teriakku ketika Ayah sibuk mengetuk pintu kamarku, bahkan waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam dan Ayah baru pulang dari kantornya.

“Dengarkan penjelasan ayah Briana” suara Ayah terdengar memelas, namun aku memilih untuk menulikan telingaku hingga aku terlelap.

Suasana pagi di meja makan begitu dingin, ekspresiku sama sekali tak menunjukkan ketertarikan ketika melihat kotak hadiah di atas meja makan.

“Ini untukmu sayang, Ayah minta maaf karena tidak bisa hadir di acara kemarin” aku masih menunduk sambil memainkan garpu dan sendokku di atas piring.

“Briana” suara Ibu terdengar menegur, tapi aku sama sekali tak peduli, aku memilih kembali ke kamarku, dan mengurung diri seharian di dalam.

Hingga sore, aku memutuskan untuk turun ke lantai bawah.

Ibu menangis, memeluk foto ayah.

“Ibu” aku memanggil beliau dan berjalan mendekati beliau yang masih bersimpuh di lantai.

“Diam… gara-gara kamu Hilson kecelakaan

--------

nanti sore aku bakal up cerita baru.
Jadi.... Jangan sampai ketinggalan.

Happy Reading and Enjoyyyyy

BRIANA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang