Hujan mengguyur kota, bulir air membasahi kaca.
Aku masih menatap awan hitam yang bergelayut di atas sana, seluruh pikiranku terarah pada Adam yang sudah tenang disisi’Nya.
“Adam… kamu udah bahagia kan?” bisikku pelan, lebih bertanya pada diriku sendiri.
“Briana” suara Will terdengar parau, aku segera menuju kamarnya, tampaknya dia sudah bangun setelah terlelap selama 2 jam.
Aku melihatnya sudah terduduk, menyandar pada kepala ranjang, dilihat dari ekspresi wajahnya, tampaknya William sudah lebih baik.
“Kau lapar?” tanyaku di ambang pintu kamarnya, dia mengangguk pelan.Aku segera menuju dapur, memanaskan makanan yang sudah ku masakkan tadi untuk William, sarapan yang di beli oleh Rey pagi tadi sudah habis karena memang aku meminta Rey membeli untuk 2 orang, kami sarapan tanpa William.
“Mau di bantu?” tanyaku padanya, namun benakku menolak akan hal itu, aku harus benar benar menjaga jarak dengan William sebelum aku benar-benar jatuh pada pesonanya yang luar biasa.
“Aku sendiri aja” dia langsung mengambil alih piring di atas nampan.
Aku mengangguk dan mengatakan akan keluar terlebih dahulu, meninggalkannya di kamarnya.
Hari ini kami tidak pergi kemanapun, bahkan dokter Ridwan menatakan kalau untuk beberapa hari kedepan William tidak di jadwalkan untuk terapi, dokter Ridwan ingin William benar benar istirahat dan memulihkan tenaganya terlebih dahulu.
Dan aku yakin, kami akan terkurung di apartemen ini selama itu juga, aku pun tak bisa mengambil keputusan sepihak untuk membawa Will keluar untuk sekedar jalan-jalan, kecuali kalau dia memaksa.
Mungkin hampir 10 menit aku duduk di kursi tinggi di dapur, aku segera mengecek apakah William menghabiskan makanannya atau tidak.
“Waktunya kamu minum obat” kataku ketika melihat Will yang meletakkan piring kosong di atas nakas.
Dia mengangguk.
Will lebih menurut sekarang, tak seperti di awal-awal aku merawatnya, aku sampai kewalahan untuk membujuknya minum obat, alasannya masih sama, dia tak ingin sembuh.
“Untuk beberapa hari kedepan kamu nggak terapi dulu” kataku padanya, aku duduk di bibir ranjangnya, memegangi obatnya yang dia minum satu per satu.
“Kenapa?” tanyanya setelah menelan satu obat yang cukup besar, dia mengambil satu butir obat lagi di tanganku.
“Kamu di minta untuk bedrest dulu, sampai kondisimu lebih baik” dia mengangguk mengerti dan kemudian meminum obatnya yang terakhir.
“Kamu mau tidur lagi atau mau mandi?” tanyaku.
“Tidur”
***
Ku hela nafasku pelan ketika melihat pesan yang baru saja masuk ke dalam kotak pesanku, aku segera menghubungi Rey agar naik dn menjaga William sementara waktu.
“Ada apa?” Tanya Rey ketika melihatku duduk di sofa ruang tamu, William masih di kamarnya, aku tak tau dia sedang tidur atau memainkan phonselnya.
“Bantu aku sebentar untuk menjaga William, aku harus turun” kataku sambil berdiri.
Dia mengangguk, dan berkata ‘hati-hati’.
Di dalam lift aku menghela nafasku sebelum akhirnya menekan angka 7 sebagai lantai tujuanku, aku mengetuk-ngetuk lantai dengan sandal yang kugunakan, membiarkan irama terdengar dikotak besi yang hening ini.
Di lantai 8 lift berhenti dan seorang wanita paruh baya masuk dan tersenyum ramah kepadaku, aku balas senyum beliau tak kalah ramahnya.
Sampai di lantai 7, pintu Lift terbuka, aku sedikit membungkan tubuhku pada beliau.
Disana….. aku melihat Ibu sedang menyandarkan tubuhnya pada pintu apartemen yang sudah sangat lama tak ku sambangi.
Bukan suatu kebetulan keluarga William membeli satu Unit di lantai teratas untuk anak laki lakinya selama disini, karena aku yang merekomendasikannya.
“Untuk apa Ibu datang kesini?” tanyaku memecah keheningan lorong yang sepi ini.
“Meminta uang padamu, untuk apa lagi kau fikir” aku mendengus keras.
Ibu tampak seperti ibu-ibu sosialita dengan pakaian dan tas jinjing yang ada di tangannya, tentu saja beliau membeli semua barang itu dengan merampokku tiap bulannya.
“Aku tidak ada uang, Bu. Aku sudah mengimkannya pada ibu” hardikku keras pada wanita yang sudah melahirkanku itu.
“Jangan bohong kamu, kamu bekerja pada keluarga kaya kan sekarang” suaranya lebih keras lagi, aku bersyukur bahwa lorong ini begitu sepi, karena masih jam kerja dan mungkin sebagian penghuni di lantai ini masih dalam aktivitas mereka.
“Aku sudah mengirimkannya pada Ibu, dan aku belum mendapakan gajiku bulan ini” aku berkata dengan suara frustasi.
“Ahhh… kau miskin sekali, aku tak tau apa yang di lihat Adam sampai mau menikahimu, aku bersyukur dia mati dalam kecelakaan itu”
-------
INFO :
Jadiii mulai tanggal 5-20 maret BROKEN udah Open PO, dan secara otomatis part2 yang ada di wattpad resmi di hapus untuk kepentingan penerbitan, aku cuma menyisakan beberapa part doang sih.
Buat kalian yang mau peluk Andhita-Fikri + Baby Aara secara nyata, kalian wajib banget beli karena ada penambahan Part yang nggak akan kalian sangka, Bangetttt.Sooo..... Jangan sampai ketinggalan guys.
**
Semoga kalian suka sama part ini.
Happy Reading and Enjoyyyyyyy
KAMU SEDANG MEMBACA
BRIANA ✔
ChickLitMasa lalu adalah Momok menakutkan bagiku. -Briana- ----------------------------------------- Start : 1 Februari 2019 Fin : 3 April 2019