1

92 9 0
                                    

Udara Jakarta di pagi hari dan segelas Americano dari Starbucks mengubah suasana hati Anin menjadi lebih baik. Ia mengawali hari dengan senyum yang menghiasi wajahnya sambil duduk di sudut kafe Starbucks yang terletak di lantai dasar kantor untuk menunggu jam kerja masuk. Yap, Anindira adalah pegawai baru di perusahaan 2 Seasons Resorts—hari ini dirinya tidak ingin telat di hari pertama bekerja, walaupun saat ini ia harus menunggu 1 jam kedepan.

Bunyi notifikasi di ponselnya terus berdering, terlihat banyak notifikasi dari grup chat "Ilmuminati" pada aplikasi WhatsApp. Ilmuminati, bukan Illuminati. Nama grup yang sedikit mengecoh mata jika dilihat ini merupakan grup pertemanan Anin dari SMP. Dulu, ia dan kelima temannya memang terkenal aktif dalam hal belajar dan saling berebut untuk menjadi ranking teratas di sekolah, akan tetapi tidak lantas mereka menjadi manusia cupu yang hanya tahu, belajar di sekolah lalu pulang ke rumah. Tidak sama sekali.

Sebagai seorang pelajar, kami sangat memegang prinsip Work Hard - Play Hard. Oleh karena prinsip itu kami bisa bersahabat hingga sekarang, mungkin sampai tua. Seperti manusia normal lainnya, kami hanyalah para pengejar mimpi yang juga hidup dan bergaul layaknya seperti Awkarin, serta kami juga memegang prinsip bahwa You Only Life Once a.k.a YOLO.

Mika: Gue buat games di story instagram nih, now. Buruan jawab games gue, ngeramein!

Ryan: Games lo sampah. Bahkan games matematika kemarin, gue yang pertama jawab dan bener. Cetek juga lo bikin games.

Mika: Meninggi banget ya idup lo, Malih. Gama, Vaya, Anin, Dira, Juna sayangku cintaku, jawab dong games di story gue, biar ngeramein.

Vaya: Cray Cray, masih pagi Mik!

Ryan: Gue mau mandi nih. *Send photo*

Mikay: Ih najis! Dasar manusia narsistic!

Arjuna: Udah ya Mik. 1000% pasti benar jawaban gue.

Ryan: Bodo amat, narsistic kan nama tengah gue. Ryan Narsistic Handoko.

Anindira: Foto lo ngubah suasana hati gue aja Yan. Najisin.

Gama: survey membuktikan bahwa orang yang suka selfie adalah seorang depressed yang membutuhkan pengakuan. Lo kalau ada apa-apa tuh cerita nyet, jangan selfie.

Vaya: Eh Nin, today lo ngantor di tempat baru ya? I'm so happy, because nanti malem pasti ada pesta-pesta nih.

Arjuna: Fable Club i'm comin! Nggak sabar gue menuju malam.

Mika: Gue mencium aroma Smirnoff, ah i love vodka.

Anindira: What the.. Bahkan gue gajian aja belum, udah minta traktir open table aja lo. I'm out guys, bye.

Anin melepaskan ponsel dari genggamannya. Ia melihat jam yang melekat di tangan kanannya—masih 30 menit lagi menuju jam 08.00 WIB. Anin menyeruput kopinya dan melihat sekeliling cafe Starbucks yang mulai ramai. Tak sadar, mata Anin melihat pramusaji yang sedang berteriak sambil memegang dompet kepada seorang pria yang sedang berjalan keluar cafe.

Itu manusia budeg ya?

Anin memperhatikan orang tersebut hingga ia menyadari bahwa pria itu berjalan menuju gedung kantornya. Apa gue bantu kasih dompetnya aja ya? Sok ngide lo Nin. Eh tapi kan, mungkin lo bisa punya temen baru. Benar nggak?! Itung-itung ibadah.

Anin menandaskan minumannya hingga tidak bersisa lalu berjalan menuju bagian kasir.

"Maaf mas, saya Anindira. Kebetulan pria yang ketinggalan dompetnya itu teman saya di kantor. Kalau mas nggak percaya, ini catat nama dan nomor handphone saya. Emang tuh teman saya, agak pelupa mas."

Teman my Ass, sok kenal lo Nin.

"Oh iya. Ini." Pramusaji memberikan dompet kulit hitam ke Anindira. "Terima kasih banyak mbak."

"Terima kasih juga mas. Thanks kopinya." Anin tersenyum dan melangkah keluar cafe dengan berlari kecil menyusul orang yang di maksud.

Mata Anin fokus memindai orang-orang yang berlalu lalang di sekitar lobby kantor. Ia telah mengingat ciri-ciri pria itu, setelan jas, celana bahan berwarna gelap dan sneakers Adidas putih. Saat matanya tidak sengaja menemukan seorang pria dengan ciri-ciri yang sama sedang menunggu lift terbuka, Anin langsung berlari menuju ke arah pria tersebut.

Pintu liftnya udah kebuka Nin. Brengsek gue capek lari.

"Tunggu dulu." Anin menarik nafas panjang sambil menahan pintu lift agar tidak tertutup. Ia melangkah masuk ke lift yang hanya berisi empat orang-termasuk dirinya, tidak lupa juga ia menekan tombol lantai 45. Lalu mata Elang Anin melirik pria di sampingnya intens, ia melirik dari rambut hingga ujung kaki. Ciri-ciri pria yang ada diingatannya sama seperti yang berada di sebelahnya, namun ia sedikit tidak yakin.

"Maaf, apakah kamu mengenali saya? Apa saya melakukan sesuatu kepada kamu?"

Mampus, kok jadi pertanyaannya banyak banget kayak Dora the explorer?

"Oh.. Em..Saya nggak kenal kamu. Saya em.. baru.." Lah, apa sih Nin? To the point langsung, ngapain ngejelasin pertanyaan dari dia?! "Sorry, apa kamu meninggalkan dompet di Starbucks?"

Pria itu menghela napas panjang seperti menghilangkan keresahannya dengan kedua tangan yang meraba sisi kantong celananya. "Niko, dompet saya ada di kamu?"

Pria yang berada di samping kirinya langsung menggeledah tas yang ia bawa dan meraba semua kantong di pakaian yang ia pakai. "Tidak ada pak."

"Boleh saya lihat dompetnya? Dompet saya bertekstur kulit berwarna hitam."

Ah ternyata benar. "Apakah ini dompetnya?" Anin menyodorkan dompet berwarna hitam ke arah pria itu.

"Ah iya benar." Pria itu lantas mengambil dompet tersebut dengan kecepatan kilat dari tangan Anin. "Thanks."

"Ah iya, sama-sama. Tadi dompetmu ditemukan sama pengawai cafe, udah dipanggil tapi kamu nggak nyaut." Jelas Anin diakhiri dengan cengiran dan dibalas dengan tatapan datar dari kedua lelaki di sampingnya.

Seketika suasana menjadi hening. Cengiran di bibir Anin hilang dan digantikan dengan ocehan yang terlontar di kepalanya. Sial, kenapa gue jadi sok asik gini? Pintu lift terbuka pada lantai divisinya. Anin berjalan keluar lift tanpa menoleh kearah pria itu lagi. Tengsin, cong.

Kok gue jadi merasa keki gini sih? Hah, dasar pria aneh. Pook pook Nin, tujuan ngebantu mau cari teman, tapi malah keki sendiri lo.

Ini kali kedua Anin sudah datang ke lantai kerja divisinya. Sambil ia berjalan ke ruangan pimpinan divisi HRD, Anin tidak lupa untuk tersenyum kepada setiap orang yang berjalan melewatinya ataupun yang ia lihat. Ia menghirup dan menghembuskan nafas panjang. Hmm, udara baru di kantornya.

Anin mengetuk pintu pimpinan divisi dan selang beberapa detik ia diperbolehkan masuk. "Selamat pagi, Bu Wuri."

Wanita yang Anin sapa sedang tersenyum dan mempersilakan Anin untuk duduk di depannya. "Anindira, kamu tahu kan apa saja job desk kamu di perusahaan ini?" Tanpa menjawab, Anin hanya tersenyum dan mengangguk. "Saya harap kamu bisa kerja dengan stabil dan semaksimal mungkin ya. Ohiya, job desk kamu juga sering berhubungan dengan pimpinan perusahaan ini ya. Nanti saya akan email ke kamu untuk alamat email dan nomor ponsel sekertaris pimpinan, biar kamu bisa kerja sama dengan beliau untuk kerjaan."

Anin tetap tersenyum, "Baik bu. Emm... untuk tempat kerja saya dimana ya bu?"








Hope you enjoy and like it.

Dont forget comment dan like yaa.

Kritik dan alasan kalian sangat penting untuk alur cerita ini :)

DUOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang