11

15 3 0
                                    

Bu Andreas sudah pergi meninggalkan restoran. Anin sibuk merapihkan tumpukan dokumen yang sudah dua kali lebih banyak dari yang ia bawa sebelumnya. Pak Rayan dan pak Niko terlihat bersantai sambil menikmati segelas minuman yang baru mereka pesan, lagi. Kedua atasannya duduk sedikit menjauh dari tempat Anin sekarang, mereka terlihat sedang berdiskusi masalah serius.

Yah, boss always be the boss, but cungpret tetap aja cungpret sampai mati, protes Anin dalam hati.

Setelah Anin membereskan semua barang bawaannya, pak Rayan dan pak Niko kembali duduk didekat Anin.

"Anindira, ada yang ingin kami bicarakan serius kepadamu." Tutur pak Niko dengan mimik yang serius.

Waduh, kok gue jadi deg-degan dipandang serius sama pak Niko? Berasa lagi sidang skripsi lagi.

"Soal kerjaan pak? Kok saya jadi tegang ya?"

"Soal kejadian jumat malam itu di club. Kamu belum lupa kan?" Timpal pak Rayan mengingatkan.

Duh nggak demen deh gue flashback gini. Si bos kok demen banget sih bahas hal yang udah lewat?

"Saya kira pembahasan itu sudah selesai pak."

"Ada yang harus kami jelaskan kepadamu." Ucap pak Niko.

"Terkait peristiwa malam itu, pasti ada yang ingin kamu sampaikan bukan?" Tanya pak Rayan yang duduk di sebelah Anin.

"Apakah saya harus jawab jujur?" Menanggapi pertanyaan yang Anin lontarkan, pak Rayan hanya diam cukup lama.

Diam tanda setuju, kan?

"Banyak sekali pak, banyak sekali pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada bapak."

"Silakan saja ajukan sekarang. Saya sejak lama sudah melihatmu yang ingin sekali mengucapkan sesuatu ke saya, namu sepertinya kamu tahan. Saat itu wajahmu seperti seorang ibu yang sedang melahirkan." Jelas bosnya dengan bercanda.

Wajah ngeden maksudnya? Yeh kerupuk udang, bisa aja nih si bos ngomong santai disaat suasana tegang seperti ini? Nggak lihat apa, tatapan mereka kayak penjahat yang lagi nyopet si korban?

"Benar pak tidak apa-apa? Bapak tidak akan memecat saya kan karena terlalu blak-blakkan?"

"Sebelumnya saya sudah mengatakan di mobil, anggap saja saya dan Niko temanmu jika sudah di luar kantor."

"Tapi sekarang kan kita sedang bekerja pak."

"Tetapi ini di luar kantor, Anindira."

"Oke." Anin membetulkan tempat duduknya untuk bisa menatap wajah pak Rayan dengan jelas. Lehernya cukup pegal karena menengok pak Rayan dan pak Niko bergantian, kanan kiri kanan kiri.

"Mohon dengarkan baik-baik dan tolong untuk tidak sakit hati dengan ucapan yang saya katakan pak." Pak Rayan mengangguk dalam diam.

"Saat malam itu, saya dibuat kaget oleh tindakan bapak. Bapak yang jauh berbeda 180 derajat dari sebelumnya sedang bertindak kasar dan menyiksa kepada kaum sejenis saya di lorong club. Saya mencoba untuk mengerti keadaan, mungkin bapak sedang sangat mabuk sehingga hilang akal. Namun setelah saya pikir-pikir, bapak tidak terlalu mabuk karena bapak bisa menjawab pertanyaan saya dan menghina saya berpuluh menit lamanya."

"Memang saat ini saya sedang mabuk, sedikit. Saya tidak ber..."

"Maaf Pak, saya belum selesai berbicara." Ingat Anin tegas kepada bosnya. Sepertinya untuk beberapa menit kedepan, ia memiliki hak berkuasa atas diri bosnya.

"Lebih anehnya lagi, saya cukup—ralat pak, saya sangat shock ketika bapak tidak mengenali saya padahal sebelumnya kita berpamitan di lobby kantor saat jam pulang kerja. Terlebih lagi ketika bapak berkata sialan kepada pak Niko, yang notabennya sekretaris setia pak Rayan. Satu lagi, saya baru mengetahui bahwa bapak sangat handal dalam hal mengumpat tajam kepada orang lain." Anin menjelaskan panjang lebar kepada kedua atasnya seperti berbicara hanya dalam sekali nafas.

"Sudah selesai?" Tanya pak Rayan. Anin mengangguk sambil bernafas sebanyak-banyaknya.

"Pak, saya boleh memesan minum lagi? Tenggorokan saya kering pak." Pinta Anin yang langsung diangguki oleh kedua atasannya. Pak Rayan tidak segera menjelaskan pertanyaan yang terlontar dari Anin. Ia memberikan sedikit waktu untuk Anin yang ingin memesan minuman.

"Saya seorang Dissociative Identity Disorder." Tidak disangka-sangka, Anin mendengar satu kalimat yang membuatnya dirinya sangat terkejut, seperti ada petir yang menyambar dirinya. Kedua matanya kini menatap pak Rayan, menyelami setiap kata yang bosnya ucapkan.

Pikirannya kini zonk.

"Saya tahu." Anin diam sebentar. "Maksud saya, saya tahu DID itu."

"Saya sangat meminta maaf kepadamu, ketika saya tahu kamu tidak sengaja bertemu dengan alter ego saya di peristiwa yang tidak menyenangkan."

"Aldric?" Kata Anin seperti bertanya. Tiba-tiba ingatannya kembali saat pak Niko memanggil bosnya dengan sebutan Aldric.

"Ya, dia adalah sisi lain dari tubuh saya, Anindira."

"Lalu kenapa bapak memberitahukan saya tentang ini semua?"

Pak Rayan diam seribu bahasa. Informasi yang diberikan bosnya seperti pukulan besar untuk Anin. Jika ada yang bisa melebihi kata terkejut, itu yang tergambar padanya sekarang. 

"Karena sepertinya, kamu menjadi target berikutnya oleh Aldric. " Penjelasan pak Niko seolah gamang di pendengaran Anin. "Maafkan saya, Anindira."

Apakah gue nggak salah dengar? Apakah ini hanya mimpi buruk setelah diskusi yang tidak berujung baik dengan clien kaum crazy rich Surabayan tadi?

Bahkan dirinya tidak mampu untuk merespons perkataan pak Niko. Penjelasannya seolah menggantung tanpa kesimpulan. Tidak ada titik temu. Anin mengejapkan mata beberapa kali, seolah meminta agar jiwanya kembali ke raga. Dirinya yang tidak bisa berkata apa-apa, ia hanya bisa meminum minumannya dengan cepat sampai tandas.

Tidak ada kelanjutan dari pembicaraan mereka sampai mobil pak Rayan berhenti di depan kantornya. Sejak mereka diperjalanan untuk kembali ke kantor, tidak ada pembicaraan khusus dan hanya ditemani lagu di Radio. Saat di mobil, pak Rayan mengizinkan Anin untuk kembali ke rumah jika mereka sudah sampai kantor. Hari ini ia tidak diizinkan untuk bekerja di kantor selepas meeting dengan bu Andreas.

"Anin, saya harap jika Aldric menghubungimu atau meminta kamu untuk datang kepadanya, tolak mentah-mentah dan langsung matikan panggilan telephone itu." Ucap pak Rayan mengingatkan ketika Anin sedang berjalan menuju parkiran kantor.

Anin menatap wajah pak Rayan. Tersirat kehawatiran dari mimik wajahnya. Anin tersenyum kecil. Sepanjang perjalanan Anin ke rumah, ia terus menghela napas panjang.

Harusnya gue seneng dikasih pulang cepat. Kenapa sekarang jadi berat hati gini?

Sangat jarang sekali, Anin sudah kembali kerumahnya saat langit masih terang. Ia cukup terbiasa kerja lembur di kantornya dan kembali kerumah saat sudah malam. Kini pikirannya masih terombang-ambing dengan fakta yang diberikan oleh bosnya.

Saat ia berkata, ia tahu DID itu apa, sesungguhnya DID adalah sebuah penyakit psikis. Semasa Anin bersekolah, ia sempat tertarik untuk mengetahui penyakit psikis. Ia membaca beberapa buku tentang ilmu terkait penyakit psikis, terutama Dissociative Identity Disorder—penyakit psikis dengan kondisi tubuh yang memiliki lebih dari satu diri, atau adanya diri seseorang yang lain didalam satu tubuh. Biasanya disebut Alter Ego.

Anin mengerti bahwa penyakit ini sangat jarangterjadi. Namun mengapa ia menemukan pada seseorang yang kini menjadi atasannya?




Hope you enjoy and like this story.

Don't forget to comment and like yaa.

Kritik dan saran kalian sangat penting untuk alur cerita ini :)

DUOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang